SELAMAT DATANG DI BLOG RIDWAN SAPUTRA....
08.05

Semantik atau Ilmu Makna

A. Pengertian dan Cakupan Semantik

Semantik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari segala sesuatu tentang makna. Semantik berada di luar gramatika bahasa yang lain halnya dengan morfologi dan sintaksis yang berada pada tataran gramatika bahasa. Cakupan semantik sangat luas mencakup semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, maupun wanaca. Dengan demikian, semantik adalah ilmu makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.

Semantik dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang ditampilkan oleh semantik sekadar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa. Kehidupan mental pemakai bahasa, sangatlah luas yang mempengaruhinya karena pemakai bahasa dapat ditinjau dari dua sisi kehidupannya, yaitu hidup sebagai makhluk individu maupun hidup sebagai makhluk sosial di dalam masyarakat. Dengan hidup bermasyarakat pemakai bahasa terus berkembang dengan demikian tidaklah mengherankan bila kehidupan mental, isi mental, penampilan mental bahasa berkembang pula.

Selain semantik berhubungan erat dengan kehidupan sosial yang selanjutnya dapat dikaji dalam kaitan hubungan antara semantik dengan sosiologi, semantik juga mempunyai hubungan yang tidak lepas pentingnya dalam perkembangan ilmu bahasa secara khusus maupun perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dapat dilihat bagaimana hubungan semantik dengan ilmu filsafat, dalam rangka mengkaji makna berdasarkan filosofisnya; semantik dengan ilmu antropologi, dalam kaitan mengkaji makna bahasa dalam unsur-unsur budaya; semantik dengan psikologi, dalam rangka kajian makna bahasa yang dikaitkan dengan situasi kejiwaan manusia pemakai bahasa; dan semantik dengan linguistik sebagai ilmu induknya, serta tidak menuntut kemungkitan semantik dapat berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dalam rangka menemukan makna-makna bahasa dalam setiap bidang kehidupan.



B. Ilmu Makna

Makna merupakan aspek penting dalam sebuah bahasa karena dengan makna maka sebuah komunikasi dapat terjadi dengan lancar dan saling dimengerti. Tetapi seandainya para pengguna bahasa dalam bertutur satu sama lain tidak saling mengerti makna yang ada dalam tuturannya maka tidak mungkin tuturan berbahasa bisa berjalan secara komunikatif. Di sini dituntut antara penutur dan lawan tuturnya harus saling mengerti makna bahasa yang mereka tuturkan.

Di dalam semantik, istilah makna, dalam bahasa Inggris sense dibedakan dari ‘arti’, dalam bahasa Inggris meaning. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata tersebut yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksem. Kadang-kadang kita melihat makna kata dari kamus yang sebenarnya adalah makna leksikal, atau keterangan dari leksem itu sendiri. makna suatu kata tidak hanya mengandung makna leksikal saja tetapi menjangkau kesatuan bahasa yang lebih luas. Makna kata tidak lepas dari makna kata yang lainnya merupakan makna gramatikal yang sesuai dengan hubungan antarunsur-unsurnya. Terkadang kita tidak puas ketika mencari makna sebuah kata, terutama makna idiom, peribahasa, majas, metapora, maupun ungkapan.

Aspek makna terdiri atas empat, yaitu pengertian, perasaan, nada, dan tujuan. Keempat aspek makna tersebut dapat dipertimbangkan melalui pemahaman makna dalam proses komunikasi sebuah tuturan. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan tema, sedangkan makna perasaan, nada, dan tujuan dapat kita pertimbangkan melalui penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

Medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan, sedangkan komponen makna adalah satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau ujaran dalam suatu komunikasi. Kata-kata atau leksem-leksem dalam sebuah medan makna atau satu medan leksikal dapat dianalisis dengan menggunakan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna atau analisis ciri-ciri leksikal.



C. Relasi Makna

Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantic yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase, klausa, maupun kalimat. Hubungan-hubungan relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna yang disebut sinonimi, pertentangan atau perlawanan makna yang disebut antonimi, ketercakupan makna yang disebut hiponimi, kegandaan makna yang disebut homonimi, atau juga kelebihan makna yang dinamakan polisemi.

Unsur-unsur leksikal dalam bahasa dapat dibandingkan menurut hubungan semantik, di antaranya dapat berupa sinonim, hubungan yang sama atau hampir sama (mirip); berupa antonim, hubungan yang maknanya berlawanan atau kebalikan; berupa homonim, hubungan yang bermakna lain tetapi bentuk sama; berupa hiponim, hubungan yang makna ekstensionalnya merupakan sebagian dari makna ekstensional yang lainnya.



Unsur Semantik dan Jenis Makna

A. Unsur Semantik

Lambang menurut Plato adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang dihayati di dunia, berupa rujukan yang ditunjuk oleh lambang tersebut. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas tanda dan lambang.

Makna leksikal adalah makna hubungan antara kata-kata dengan unsure-unsur tertentu dalam sebuah peristiwa bahasa. Hubungan antara kata, makna kata, dan dunia kenyataan disebut hubungan referensial. Hubungan referensial adalah hubungan-hubungan yang terdapat pada, antara (1) kata sebagai satuan fonologis, yang membawa makna, (2) makna atau konsep yang dibentuk oleh kata, dan (3) dunia kenyataan yang ditunjuk (diacu) oleh kata.

Suatu nama dapat berfungsi sebagai istilah, istilah-istilah akan menjadi jelas bila diberi definisi, demikian pula nama. Istilah sama halnya dengan definisi, keduanya berisi pembahasan tentang suatu fakta, peristiwa atau kejadian, dan proses.



B. Jenis Makna

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan masyarakat, maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.

Kurang lebih ada dua belas jenis makna yang terdapat dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Kedua belas jenis makna tersebut adalah makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif dan makna emotif, makna referensial, makna konstruksi, makna leksikal dan makna gramatikal, makna idesional, makna proposisi, makna pusat, makna piktorial, dan makna idiomatik. Ada juga yang membagi jenis makna berdasarkan kesamaan atau lawan makna-makna yang lain, seperti Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi:

1. makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual;
2. makna referensial dan non-referensial;
3. makna denotative dan makna konotatif;
4. makna konseptual dan makna asosiatif;
5. makna kata dan makna istilah; dan
6. makna idiom dan makna peribahasa.

Sementara, Kridalaksana (1993) dalam Kamus Linguistik, menyebutkan jenis-jenis makna seperti: makna denotatif, makna ekstensi, makna gramatikal, makna hakikat, makna intensi, makna kiasan, makna kognitif, makna konotatif, makna konstruksi, makna kontekstual, makna leksikal, makna luas, makna majas, makna pusat, makna referensial, makna sempit, dan makna tak berciri.

Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976: 3). Situasi dapat berupa keadaan, peristiwa, dan proses. Keadaan sifatnya statis, sedangkan peristiwa dan proses bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang secara keseluruhan (prefektif), dan proses sifatnya dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperfektif). Perfektif atau situasi lengkap dapat dilihat dari awal, tengah, dan akhir. Imperfektif dengan konsep duratif menunjukkan proses sedang berlangsung, termasuk kebiasaan.

Ketiga unsure (aspek, kala, dan nomina temporal) memiliki hubungan yang erat. Keaspekan, kala, dan nomina temporal berbeda dalam hal: aspek berhubungan erat dengan macam perbuatan (situasi), tidak mempersoalkan tempatnya di dalam waktu, sedangkan kala dan nomina temporal menunjukkan terjadinya suatu perbuatan. Ketiga unsur tersebut termasuk struktur temporal, dapat membatasi situasi secara deiktik temporal.

Semua leksem persona adalah deiksis. Leksem ruang dan waktu, ada yang deiksis ada pula yang tidak deiksis. Leksem ruang yang tidak deiksis menjadi deiksis apabila dirangkaikan dengan leksem persona. Leksem ruang ada yang dipergunakan untuk mengungkapkan pengertian waktu tetapi hal sebaliknya tidak terjadi.

Deiksis dapat dibagi menjadi dua, yaitu eksopora dan endopora. Eksopora (deiksis luar tuturan) membicarakan tentang semantic leksikal, sedangkan endopora (deiksis dalam tuturan) membicarakan masalah sintaksis.



Ketaksaan (Ambiguitas) dan Perubahan Makna

A. Ketaksaan (Ambiguitas)

Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksaan atau ambiugitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.

Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu, (1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem; (2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan (3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.



B. Perubahan Makna

Perkembangan makna bahasa mencakup segala hal tentang makna yang mengalami perkembangan. Perubahan makna bahasa merupakan gejala yang terjadi di dalam suatu bahasa akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor di dalam bahasa maupun di luar bahasa. Faktor-faktor itu diantaranya: faktor kebahasaan, faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologi, bahasa asing, dan faktor kebutuhan akan kata-kata baru.

Perubahan makna dapat terjadi pada beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Kedua, perubahan makna akibat lingkungan. Ketiga, perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera. Keempat, perubahan makna akibat gabungan kata. Kelima, perubahan makna akibat tanggapan pemakaian bahasa. Dan keenam, perubahan makna akibat asosiasi.

Perubahan makna dapat dianggap sebagai akibat hasil proses yang dihasilkan oleh (1) hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam kosakata, (3) perubahan konotasi, (4) peralihan dari acuan kongret ke acuan abstrak, (5) timbulnya gejala sinestesia, dan (6) penerjemahan harfiah.

Perluasan makna merupakan proses perkembangan makna yang meluas, sebuah kata dengan makna yang asalnya sempit sekarang menjadi lebih luas. Misalnya, kata saudara, dahulu maksudnya hanya digunakan untuk menyebut orang seketurunan, tetapi sekarang dipakai untuk mereka yang sebaya dengan si penutur. Proses perkembangan makna selanjutnya, adalah pembatasan makna yaitu makna yang dimiliki lebih terbatas dibanding dengan makna semula. Dan pergeseran makna adalah perkembangan makna yang terjadi pada kata-kata yang eufemisme (melemahkan makna). Pergeseran makna terjadi pula pada bentuk imperatif.

Perubahan makna menurut Firth (1969) terdiri atas (1) perubahan secara logis, (2) perubahan secara psikologis, dan (3) perubahan secara sosiologis, sedangkan hubungan makna terdiri atas empat prinsif, yaitu prinsif inklusi, prinsif tumpang-tindih, prinsif komplementr, dan prinsif persinggungan.

Yang pertama, prinsif inklusi adalah prinsif yang terjadi sebagai akibat keinginan pemakai bahasa mengungkapkan sesuatu yang diacunya dengan cepat, atau ketidakmampuan pemakai bahasa untuk menciptakan nama benda (peristiwa). Kedua, prinsif tumpang-tindih, prinsif ini mengacu pada suatu kata yang mengandung berbagai informasi, misalnya, pada kata mempertanggungjawabkan. Ketiga, prinsif komplementer merupakan pasangan-pasangan yang saling melengkapi, baik yang berlawanan, berbalik, maupun timbal-balik. Dan keempat, prinsif persinggungan merupakan prinsif hubungan makna yang hampir sama dengan sinonim.

Gaya bahasa merupakan alat dalam berbahasa yang bersifat melukiskan, menggambarkan, menegaskan suatu pendapat atau ujaran. Sehubungan dengan ini Kridalaksana (1993), menegaskan arti gaya bahasa, yaitu (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa banyak macamnya. Di sini dapat disebutkan, (1) asosiasi, (2) metaphora, (3) personifikasi, (4) metonimia, (5) pleonasme, (6) hiperbolisme, (7) litotes, (8) euphimisme, (9) simbolik, (10) ironi, (11) cynisme, (12) sarkasme, (13) repetisi, (14) klimaks, (15) anti klimaks, (16) synecdoche, (17) paradok, (18) antithese, (19) koreksio, (20) inversi, (21) paralelisme, (22) retoris, dan (23) elipsi.

Secara garis besar Djajasudarma (1993), membagi gaya bahasa atau majas menjadi tiga golongan, yaitu (1) majas perbandingan yang terdiri atas: perumpamaan, kiasan, dan penginsanan; (2) majas pertentangan, terdiri atas: hiperbol, litotes, dan irono; dan (3) majas pertautan, terdiri atas: metonimia, sinekdoke, kilasan, dan eufemisme.



DAFTAR PUSTAKA

Bloch, Bernard & George L. Trager. 1942. Outline of Lnguistics Analysis. Baltimore, Md.: Linguistics Society of America.

Bloomfield, Leonard. 1995. Language: Bahasa. (terjemahan: I. Soetikno). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Bronstein, Arthur J. & Beatrice F. Jacoby. 1967. Your Speech and Voice. New York: Random House.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Comrie, Bernard. 1976. Aspect. Cambridge: Cambridge University Press.

Comrie, Bernard. 1985. Tense. Cambridge: Cambridge University Press.

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: ERESCO.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 2. Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: ERESCO.

Juwono, Edhi. 1982. Beberapa Gejala Perubahan Arti. Dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia. Th. 3. 3: 161-188. Jakarta: Bhratara.

Kempson, Ruth M. 1977. Sematics Theory. London: Cambridge University Press.

Lyons, Jons. 1979. Sematics Vol 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Ogden, C.K. & f.A. Richard. 1972. The Meaning of Meaning. London: Routledge dan Kegau Paul Ltd.

Pateda, Mansoer. 1994. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.

Purwo, Bambang Kuswanti. 1984. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Singleton, David. 2000. Language and Lexicon. London: Arnold.

Slametmuljana. 1969. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah

Soedjito. 1989. Sinonim. Bandung: Sinar Baru.

3 komentar:

Rizqi mengatakan...

assalamualaikum...

baru tau nih tentang ilmu semantik...
makasih gan,,

numpang copas ya...
:)

wassalam..

Anonim mengatakan...

APA SIH PERBEDAAN MAKNA KONSEPTUAL DAN MAKNA EKSTENSIONAL??MOHON BANTUANNYA.

Anonim mengatakan...

mohon izin copy ya...
terima kasih