SELAMAT DATANG DI BLOG RIDWAN SAPUTRA....
08.59

PRAGMATIK

Pragmatik

Istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris (1938). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.

Berbeda dengan Charles Morris, Carnap (1938) seseorang filosof dan ahli logika menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak tertentu yang menunjukkan pada agents. Dengan perkataan lain, pragmatic mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda dengan pemakai tanda tersebut. Selanjutnya, ahli lainkan Montague mengatakan bahwa pragmatic adalah Studi yang mempelajari idexical atau deictic. Dalam pegertian yang terakhir ini, pragmatic berkaitan dengan teori rujukan/deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakainya.

Pemerolehan Pragmatik.

Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain yang di sekitarnya. Sejak awal hidupnya dia sudah bergaul sosial dengan terdekat, meskipun bentuk masih satu arah-orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarnya saja. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja dia harus hidup bermasyarakat. Ini berarti bahwa dia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehinngga kempetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use). Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan pragmatik.

Pragmatik merujuk ke telaah makna dalam interaksi yang mencakup makna si pembicara dan konteks-konteks di mana ujaran yang dikeluarkan (jucker, 1998:830). Ninio dan Snow (1996:45) menyatakan bahwa komunikasi non–verbal pada anak sebelum anak dapat mengeluarkan bentuk yang bermakna sebenarnya merupakan kemampuan pragmatik anak. Mereka mengatakan anak sebanarnya sudah tahu mengenai esensi penggunaan bahasa pada waktu anak berumur beberapa minggu. Kent dan Miolo (1996:304) bahkan mengatakan bahwa janin pun sebenarnaya telah terekspos pada bahasa manusia melelui lingkungan intrauterin. Hal ini kemudian tampak dari kesukaan dari suara ibunya dari pada suara orang lain. perbedana antara orang dewasa dengan bayi hanyalah bahwa bayi menaggapi ujaran oarang dewasa tidak (lebih tepatnya, belum) secara verbal. Senyum, tawa, tangis, dan teriakan kecil semua merupakan piranti pragmatik anak. Dapat dicontohkan, jika anak disuruh oleh orang tua untuk mengambil sesutu benda, dia akan langsung merespon perintah orang tuanya dan memberikan benda itu kepada sasaran yang benar yakni ayah atau ibu.

Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi komunikasi pragmatik antara dia dengan orang lain. Jadi, anak manapun sebanaranya telah menunjukan kemampuan prakmatik sejak dini.

Tindak Bahasa

Dalam peristiwa tutur terdapat tindak tutur yang jenisnya bermacam-macam. Menurut Austin yang kemudian disederhanakan oleh Searle, macam tindak tutur terbagi menjadi lima (Levinson, 1983) yaitu sebagai berikut.

  1. Tindak representatif yaitu tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesustu itu adanya. Termasuk dalam tindakan ini misalnya mengemukakan, menjelaskan, menyatakan, dan menunjuk.

Contohnya :

A : “Buku itu bukan milik saya”

B : “Lalu milik siapa?”

A : “Saya tidak tahu.”

Dari percakapan singkat di atas, bahwa A menyatakan bahwa buku itu bukan miliknya dan A mengemukakan bahwa ia tidak tahu siapa yang sebenarnya memiliki buku itu.

  1. Tindak komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong pembicara melakukan sesuatu misalnya bersumpah dan berjanji.

Contohnya :

A : “Saya berjanji tidak menyebarluaskan masalah ini kepada orang lain, percayalah!”

B : “Baiklah kalau begitu saya akan menceritakannya kepadamu”.

Dari percakapan di atas menunjukkan bahwa A melakukan tindak tutur berjanji kepada B untuk tidak menyebarluaskan masalah tertentu karena A ingin mengetahuinya.

  1. Tindak Direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong penanggap tutur

melakukan sesuatu, misalnya mengusulkan, memohon, memerintah, mendesak, menentang. Dengan kata lain yang bisa memerintah lawan tutur melakukan suatu tindakan verbal maupun non verbal.

Contohnya :

A : “saya haus sekali, tolong ambilkan minum!”

B : “apa dikira saya ini pembantu?” (walaupun begitu B bergegas mengambil air juga).

  1. Tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, mengadukan, menyampaikan, ucapan selamat, mengkritik dan sebagainya. Tindak ekspresif ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis pembicara terhadap lawan bicara.

Contohnya :

A :”Mengapa anda belum menyerahkan tugas?”

B :”Maaf pak, tugas itu memang belum selesai saya kerjakan.”

A :”kapan akan anda serahkan?”

B :”insya allah hari kamis pak.”

Dalam pemenggalan percakapan di atas terdapat adanya tindak tutur meminta maaf, sebagai salahsatu contoh tindak ekpresif.

  1. Tindak deklaratif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sasuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Tindak tutur deklaratif ini dinyatakan dengan setuju, tidak setuju, benar, dan lain-lain.

Contohnya:

A :”menurut saya,belajar bahasa di samping dipengaruhi oleh bakat bahasa dipengaruhi juga oleh lingkungan. Setujukah anda dengan pendapat saya ini ?”

B :” Ya, saya setuju dan dapat menerima pendapat saudara.”

Kajian pragmatik

Pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa sesungguhnya. Pragmatik mencakup bahasan tentang deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan. Deiksis adalah kata yang tidak memiliki referen yang tetap ( tetapi berubah-ubah ) seperti kata saya, sini, sekarang. Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu kepada A atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur, kata sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang berbicara.

Praanggapan mengacu kepada makna tersirat yang ” mendahului“ makna kalimat yang terucapkan ( tertulis ). Makna ini dapat ditangkap dan disimpulkan oleh pendengar ( pembaca ). Kalau kita mendengar ujaran “ibunya sedang sakit”, maka “makna lain” yang bisa ditangkap, yaitu ‘dia mempunyai ibu.’ Inilah yang disebut praanggapan. Untuk mengecek kebenarannya, kita dapat menggabungkan keduanya dengan menempatkan praanggapan di depan ujaran tadi menjadi: “Dia mempunyai ibu, ibunya sedang sakit”. Tetapi, praanggapan itu akan janggal jika ditempatkan di belakang.

Praanggapan berbeda dengan pengartian. Yang disebut pengartian yaitu “makna lain” yang “mengikuti” suatu ujaran. Misalnya kalau kita mendengar ujaran “ini bunga”, maka sebenarnya ada sejumlah makna yang menyertai makna ujaran itu yaitu “pantas wangi” (ini) bukan kerbau. Kalau digabungkan akan menjadi seperti ini:

ini bunga. Pantas wangi.”

ini bunga. Bukan kerbau.”

Dalam kehidupan sehari-hari pengartian banyak sekali didahului kata “Artinya, ….”, “itu berarti,….” Jadi, semacam simpulan atau tambahan pengertian (atau makna) atas ujaran yang mendahuluinya.

Tindak tutur adalah suatu ujaran sebagai suatu satuan fungsional dalam komunikasi. Di dalam teori tindak tutur, ujaran itu mempunyai dua jenis makna yaitu:

  1. Makna proposisional (disebut juga makna lekusioner). Makana ini merupakan makna harafiah dasar dari ujaran yang disampaikan (dibawa) oleh kata atau struktur yang dikandung oleh ujaran itu.

  2. Makna ilokusioner (daya ilokusioner). Makna ini merupakan efek yang dipunyai oleh teks tertulis atau ujaran terhadap pembaca atau pendengar. Misalnya kalimat “Saya haus.” Makna proposisionalnya adalah apa yang dikatakan tentang keadaan fisik penutur.

Daya ilokusioner adalah efek yang diinginkan penutur yang dipunyai oleh ujaran terhadap pendengar. Ujaran di atas misalnya mungkin dimaksud untuk meminta sesuatu untuk diminum. Sebuah tindak tutur adalah kalimat atau ujaran yang mempunyai makna proposisional dan daya ilokusioner. Sebuah tindak tutur yang dibentuk secara tidak langsung kadang-kadang disebut tindak tutur tidak langsung, seperti tindak tutur dalam contoh di atas (“saya haus”). Tindak tutur ini sering dirasakan lebih sopan untuk membangun tindak tutur tertentu, misalnya permintaan penolakan.

Implikatur percakapan mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu. Dalam hal itu Soemarmo (dalam Dardjowidjojo, 1988) member contoh cakapan berikut:

A: “Kamu masih di sini.”

B: “Bus ke Muntilan baru saja lewat.”

Kalau hanya melihat kedua ujaran A dan B itu kita tidak memperoleh keterkaitan, karena A berbicara (mungkin dengan keterkejutan atau keheranan masih di sini, di Jogja) tentang B yang ada di depannya, sedangkan B berbicara tentang bus yang ke Muntilan. B tidak perlu heran, karena ada kebenaran bahwa “B ada di sini”. Meskipun A berujar demikian. Mengapa? Karena B menyadari bahwa A tahu betul seharusnya B sudah berangkat ke Muntilan (dan tidak “di sini”). Sebaliknya, A juga tidak perlu heran karena B mengucapkan kalimat itu karena kalimat B tadi merupakan alasan mengapa dia belum berangkat (dan arena itu masih di sini). Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.

07.35

GELISAH

Dikala hati gelisah
Memikirkan kehidupan penuh dengan kisah
Hati sabar dan jiwa yang pasrah
Hamba serahkan semua kepada-Nya

Dikala gelisah itu mulai hilang
Hatipun merasa tersenyum dan riang
Masih adakah perjalanan panjang
Dalam mengarungi sisa waktu yang terbentang


Hamba ucapkan syukur kepada Sang Pencipta alam
Dalam menolong hambanya yang sedang tenggelam
Hati ini mulai merasa tenang
Dikala hati ini bersandar kepada Sang Penyayang


By : Orang yang menanti pertolongan-Nya
Tgl pembuatan : 08 Januari 2009
Jam : 02.35 Wib
Tempat : Vila Kegelisahan


07.09

UNGKAPAN JIWA


Dimalam sunyi
Diiringi suara detik-detik jam yang tak henti
Detik-detiknya menggetarkan hati
Suasana hati yang tentram dan tenang
Sambil disirami terangnya sinar rembulan
Sinarnya menghantarkan jiwa ini kepada sang Pencipta
Hamba malu terlalu banyak dosa
Hamba hina berada di lembah nista
Hati ini ingin sekali mendapatkan ampunannya
Tapi apakah hamba pantas mendapatkannya ...



By : Pengemis Ampunannya
Tgl pembuatan :07 Januari 2009
Jam : 02.30 Wib
Tempat : Pinggir teras vila penyesalan

06.14

LINGUISTIK UMUM

  1. Pengertian Bahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat komunikasi.

Bahasa juga merupakan bagian dari kebudayaan yang diperoleh manusia untuk mengkomunikasikan makna. Bahasa bekerja dalam cara yang teratur dan sistematis. Pada dasarnya bahasa adalah lisan, dan simbol-simbol oral itu mewakili makna karena simbol-simbol itu dihubungkan dengan situasi dan pengalaman kehidupan.

Bahasa memiliki fungsi sosial, dan tanpa fungsi itu masyarakat mungkin tidak ada.


  1. Karakteristik Bahasa

    1. Oral. Pada hakikatnya bahasa adalah lisan atau oral, yang mana ada kalanya tidak bisa diungkapkan secara sempurna dengan tulisan.

    2. Sistematis, Sistemis, dan Komplit. Sistematis berarti bahasa mempunyai aturan, kaidah, atau dapat diartikan mempunyai jumlah yang terbatas untuk bisa dikombinasikan. Sistemis berarti bahasa bekerja dalam sebuah sistem dan sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Dan yang dimaksud komplit yaitu, dengan bahasa kita dapat mengungkapkan segala hal walaupun tentang sesuatu yang belum kita ketahui.

    3. Arbitrer dan Simbolis. Arbitrer artinya, bahasa yang kita gunakan tidak selalu logis atau punya alasan tertentu, sifat ini hanya berlaku dalam masyarakat bahasa dalam bentuk kesepakatan atau konvensi. Sifat simbolis yang dimiliki bahasa dapat mengabstraksikan ide-ide dan pengalaman, meskipun kita belum pernah mengalaminya secara langsung.

    4. Konvensional, berdasarkan kesepakatan tetapi bukan kesepakatan melalui rapat, dan pemakai bahasa harus tunduk pada kesepakatan itu. Karena jika tidak, maka bahasa tersebut tidak akan komunikatif.

    5. Unik dan Universal. Dalam beberapa bahasa tertentu ciri yang unik, namun tetap mempunyai ciri yang universal atau umum sebagaimana pada bahasa lainnya.

    6. Beragam. Bahasa tidaklah monolitik tapi mempunyai ragam yang bermacam-macan tergantung pada dasar klasifikasinya. Berdasarkan kebakuannya, bahasa dikategorikan menjadi dua, yaitu: ragam baku dan ragam subbaku. Berdasarkan formalitas pemakaiannyadigolongkan menjadi lima ragam, yaitu: ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab.

    7. Berkembang. Seirng dengan berkembangnya teknologi maka bahasa pun ikut berkembang dengan menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing.

    8. Produktif dan Kreatif. Karakter ini tergantung pada pemakainya. Pemakai bahsa dengan pola-pola dan lambing-lambang yang terbatas dapat mengkreasikan hal-hal baru melalui bahasa.

    9. Merupakan Fenomena Sosial. Bahasa merefleksikan kebudayaan masyarakat pemakainya, karena bahasa merupakan bagian dari sistem nilai, kebiasaan dan keyakinan yang kompleks dalam membentuk suatu kebudayaan.

    10. Bersifat Insani. Hanya manusia yang mempunyai kemampuan berbahasa. Bahasa juga merupakan suatu aspek perilaku yang bisa dipelajari oleh manusia.


  1. Satuan-Satuan Bahasa

Satuan bahasa (linguistic unit) merupakan bentuk-bentuk lingual yang merupakan komponen pembentuk bahasa yang hanya mengacu pada unsur atau komponen bahasa. Jadi, harus disadari bahwa ada bentuk lingual dan nonlingual.

Adapun wujud satuan bahaa adalah sebagai berikut:

    1. Fon dan Fonem. Fon merupakan satuan bahasa yang bersifat konkret, dapat didengar dan diucapkan. Sedangkan fonem adalah abstraksi dari fon. Contoh fon: Panci, terdiri atas p/a/n/c/i. Lutut terdiri atas l/u/t.

    2. Morf dan Morfem. Morf terdapat dalam pelaksanaan bahasa, dapat diidentifikasi, diucapkan dan didengar. Sedangkan morfem bersifat abstrak. Contoh: bekerja dan berjalan mempunyai bentuk awalan yang berbeda, yaitu ber- dan be-. Namun keduanya tetap memiliki makna yang sama.

    3. Kata. Satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih. Misalnya, kata melihat terdiri dari morfem me- dan lihat. Kata aku terdiri dari satu morfem.

    4. Frase. Satuan grmatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak terdiri atas subjek dan objek. Contoh: kaki saya, kaki meja kayu.

    5. Klausa. Satuan gramatikal unsure pembentuk kalimat yang berstruktur predikatif. Klausa bukanlah kalimat dan diakhiri dengan titik tiga (…). Contoh: dia telah berjalan…

    6. Kalimat. Ujaran yang berisi pikiran lengkap yang tersusun dari subjek dan predikat, dengan pengertian bahwa subjek adalah tentang apa yang dikatakan dan predikat adalah apa yang dikatakan tentang subjek.

    7. Gugus Kalimat. Satuan-satuan bahasa yang lebih kecil dari paragraf, karena gugus itu berada dalam paragraph.

    8. Paragraf. Terbentuk dari sejumlah kalimat, tapi lebih besar dari gugus kalimat. Jumlah kalimat dan paragraf juga bermacam-macam.

    9. Wacana. Wacana adalah satuan kalimat yang paling besar. Kridalaksana mengartikan wacana sebagai tujuan bahasa terlengkap. Wacana ada yang berbentuk lisan dan tulisan.


  1. Fungsi Bahasa

Berikut adalah beberapa fungsi bahasa:

    1. Fungsi personal, untuk menyatakan diri.

    2. Fungsi interpersonal, untuk menyatakan hubungan dengan orang lain.

    3. Fungsi direktif, untuk mengatur orang lain.

    4. Fungsi referensial, untuk menampilkan suatu referen (kabar, benda, dan lain sebagainya) dengan menggunakan lambang bahasa.

    5. Fungsi imajinatif, untuk nenciptakan sesuatu dengan berimajinasi.

    6. Fungsi fatik (phatic), untuk berbasa-basi.



  1. Teori Asal Mula Bahasa

Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentng asal mula bahasa itu, antara lain adalah sebagai berikut:

    1. Teori tekanan sosial, manusia primitif dihadapkan pada kebutuhan untuk saling memahami antara satu dengan yang lainnya.

    2. Teori ekoik (gema), objek diberi nama sesuai dengan bunyi yang dihasilkan.

    3. Teori interjeksi, manusia bersuara secara instingtif karena tekanan batin, rasa sakit, dan lain sebagainya.

    4. Teori isyarat, bahasa pertama kali dilakukan dengan isyarat.

    5. Bersumber dari Tuhan. Sebagaimana yang tersurat dalam Al-Quran (Ar-Rum: 22), Injil (Kejadian 2:19), dan Weda.


  1. Pilihan Dikotomis Bahasa

Bahasa sebagai objek kajian linguistik lazim dikaji secara dikotomis.

    1. Langue dan Parole. Langue adalah sistem bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan gagasan, sedangkan parole adalah wujud bahasa seseorang (tiap orang berbeda).

Perbedaan antara langue dan parole:

  1. Parole bersifat perorangan, di dalamnya tidak terdapat sistem bahasa yang utuh.

  2. Parole jumlahnya tak terbatas, sedangkan langue terbatas.

  3. Parole bersifat sesaat dan langue berada dalam keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap anggota masyarakat.

  4. Langue adalah abstraksi dari parole.

    1. Petanda dan penanda, petanda adalah konsep, sedangkan penanda yaitu ciri akuistik atau bunyi ujar.

    2. Relasi sintagmatis dan relasi paradigmatis

Relasi sintagmatis, relasi horizontal atau relasi antarunsur bahasa yang hadir dalam satu tuturan, disebut juga relasi inpraesentia.

Contoh : tetangga adik teman saya

adik teman tetangga saya

b-a-t-u pagi-tadi

b-a-u-t tadi-pagi

dan lain sebagainya.

Relasi paradigmatis, relasi antarunsur dalam tuturan dan unsur yang tidak hadir dalam tuturan. Unsur yang tidak hadir ini adalah unsur yang diasosiasikan (inabsentia).

Contoh : Ali mencium ibu s-a-r-i

Ali menggandeng ibu c-a-r-i

t-a-r-I,

dan lain sebagainya.

    1. Kompetensi dan Performansi

Kompetensi, pengetahuan seseorang tentang sistem bahasa, bersifat kumulatif, dan melalui proses belajar.

Performansi, pelaksanaan bahasa.

    1. Struktur batin dan struktur lahir

Struktur batin, gagasan yang mendasari kalimat, berbentuk abstrak, tak bisa dilihat dan didengar.

Struktur lahir, bahasa yang tampak, bisa didengar atau dibaca.


Selain bahasa dikaji secara dikotomis, kajian bahasa juga digunakan untuk kajian ilmiah. Yang dimaksud ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui metodwe ilmiah. Ada pun berbagai macam dari metode ilmiah itu sendiri seperti, deduktif, induktif, dan logika-hipotetiko-verifikatif. Karakteristik ilmu yaitu, objektif, sistematis, logis, empiris, dan akumulatif (semakin bertambah atau berkembang).

Ciri khusus dari kajian bahasa ini adalah:

  1. Bahasa didekati secara deskriptif, apa adanya, bukan secara prespiktif.

  2. Tidak berusaha memaksakan satu kerangka bahasa ke dalam bahasa lain.

  3. Bahasa disikapi sebagai sistem dan bukan sesuatu yang lepas.

  4. Bahasa diperlukan sebagaisuatu yang dinamis.



  1. Dasar-Dasar Fonologi

Konsep dasar

FON : realisasi bunyi atau wujud bunyi. Fon berada dalam tataran parole

Contoh: [i], [I], [u], [U], [e], dan lain-lain.

FONEM : abstraksi bunyi atau bunyi yang membedakan makna, berada dalam tataran langue.

Contoh: /i/-/u/: kami-kamu, /c/-/t/: cari-tari.

ALOFON : anggota dari fonem yang sama.

Contoh: /i/, [i], [I], /u/, [u], [U], [k], [?], [Ø].

FONETIK : kajian fon. Ada tiga macam fonetik, yaitu:

  • Fonetik artikulatoris : bagaimana bunyi dihasilkan oleh alat ucap manusia.

  • Fonetik akustis : arus bunyi keluar dari rongga mulut berupa gelombang bunyi.

  • Fonetik artikulatoris : bagaimana bunyi diterima indra pendengar dan syaraf pendengar.

Prosedur penghasil bunyi

    • Alat wicara, terdiri atas sisten pernafasan (di rongga dada), sistem pembunyian (di tenggorokan), dan sistem pengucapan (di mulut).

    • Aliran udara, yaitu di paru-paru, di glottal (hidung / yang menghasilkan bunyi sengal), dan di langit-langit lunak.

    • Jenis bunyi

      • Vokal, bunyi bahasa yang ditandai dengan udara dari paru-paru tidak mendapat hambatan berarti.

        • Jenis vokal

          • Posisi bibir

            • Vokal bundar : o, u, a

            • Vokal rata : i, u

          • Tinggi rendahnya lidah

            • Vokal depan : i, e (ujung lidah dinaikan)

            • Vokal pusat : e (pepet, lidah rata)

            • Vokal belakang : u, o,a (belakang lidah dinaikan)

          • Maju mundurnya lidah

            • Vokal atas : i, e (dekat dengan alveolum)

            • Vokal tengah : e (pepet, lebih mundur lagi)

            • Vokal bawah : a (jauh dari alveolum)


Peta Vokal


Depan

Pusat

Belakang

Atas

i

-

u

Tengah

e

e (pepet)

o

Bawah



a


        • Diftong : vokal yang berubah kualitasnya.

Contoh: [balai], [surau]

        • Gugus konsonan (Cluster), dua atau lebih deret konsonan yang tergolong dalam satu suku kata. Contoh: ma-kan (dua suku kata), [praktik]

        • Fonotaktik, caramerangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis. Contoh: i-bu (v-kv), ka-sur (kv-kvk)

      • Konsonan, bunyi bahasa yang ditandai dengan udara dari paru-paru mendapat hambatan. Jenis konsonan:

        • Berdasarkan artikulator (alat ucap yang dapat digerakan) atau titik artikulasi, yaitu: bilabial, labiodental, apikodental, laminoalveolar, laminopalatal, faringal, dan glotal.

        • Berdasarkan macam-macam halangan udara yang dijumpai:

          • Konsonan hanbat : stop

          • Konsonan frikatif : gesek

          • Konsonan spiran : sengauan

          • Konsonan likwida : luncur

          • Konsonan trill : getar

        • Berdasarkan turut tidaknya pita suara bergetar

          • Konsonan bersuara : z, o, l, m, g

          • Konsonan tidak bersuara : s, f, t, k

        • Berdasarkan jalan keluarnya

          • Konsonan hidung (nasal)

          • Konsonan mulut (oral)


Klasifikasi bunyi dan cara menghasilkannya

  1. Berdasarkan ronga yang dilewati udara

    1. Bunyi oral, bunyi Yang dihasilkan dengan udara lewat rongga mulut. Contoh: [b], [d]

    2. Bunyi nasal, bunyi yang dihasilkan dengan udara lewat rongga hidung. Contoh: [m], [n]

  1. Berdasarkan ada tidaknya hambatan udara

    1. Bunyi vokal, bunyi yang dihasilkan dengan udara tanpa hambatan.

Contoh: [a], [i]

    1. Bunyi konsonan, bunyi yang dihasilkan dengan udara mengalami hambatan. Contoh: [p], [c]

  1. Berdasarkan jenis hambatan

    1. Bunyi stop atau bunyi letus, bunyi yang dihasilkan dengan udara terhenti sama sekali dan dilepaskan dengan tiba-tiba.

Contoh: [p], [b]

    1. Bunyi geser atau frikatif, bunyi yang dihasilkan dengan udara yang mengalami geseran.

Contoh: [f], [s]

    1. Bunyi afrikat atau paduan, bunyi yang dihasilkan dengan udara yang tidak terhenti sama sekali dan juga tidak mengalami geseran.

Contoh: [c], [j]

    1. Bunyi lateral atau samping, bunyi yang dihasilkan dengan udara melalui sisi lidah yang menghalangi keluarnya udara.

Contoh: [l]

    1. Bunyi getar, bunyi yang dihasilkan dengan cara udara tergetar di dalam mulut yang disebabkan oleh getaran lidah.

Contoh: [r]

    1. Bunyi semi vokal atau luncur, bunyi yang dihasilkan dengan udara meluncur (bukannya tanpa hambatan sama sekali).

Contoh: [w], [y].

  1. Berdasarkan besar kecilnya getaran pita suara dan besarnya udara yang keluar dari paru-paru.

    1. Bunyi bersuara, bunyi yang dihasilkan dengan udara besar sehingga pita suara mengalami getaran besar.

Contoh: [b], [g].

    1. Bunyi tak bersuara, bunyi yang dihasilkan dengan udara kecil, sehingga pita tidak mengalami getaran besar.

Contoh: [p], [c].


  1. berdasarkan alat ucap yang menghasilkannya.

    1. Bunyi labial, bunyi yang dihasilkan bibir atas dan bawah.

Contoh: [w], [p].

    1. Bunyi labiodental, bunyi yang dihasilkan bibir bawah dan gigi atas.

Contoh: [f]

    1. Bunyi apikodental, bunyi yang dihasilkan gigi atas dan bawah serta ujung lidah.

Contoh: [t].

    1. Bunyi apikoalveolar, bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah dan pangkal gigi (alveolum).

Contoh: [n].

    1. Bunyi apikopalatal, bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah dan langit-langit keras. Bila ujung lidah itu membalik ke arah belakang, maka bunyi yang dihasilkan adalah bunyi retrofleks.

Contoh: [d].

    1. Bunyi laminoalveolar, bunyi yang dihasilkan oleh daun lidah (lamina) dan pangkal gigi (alveolum).

Contoh: [s].

    1. Bunyi laminopalatal, bunyi yang dihasilkan oleh lamina dan langit-langit keras.

Contoh: [c], [j].

    1. Bunyi dorsovelar, bunyi yang dihasilkan oleh punggung lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum).

Contoh: [k], [g].

    1. Bunyi uvula, bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah dan anak tekak (uvula).

Contoh: [q].

    1. Bunyi faringal, bunyi yang dihasilkan atau yang proses penghasilannya berada di dalam rongga faring.

Contoh: [h].

    1. Bunyi glotal, bunyi yang dihasilkan oleh pita suara dalam rongga antara kedua pita itu yang disebut glotis.

Contoh: [‘].


LABIAL DENTAL PLATAL VELAR

GLOTAL

ts

p

t

c

k


Hambatan

bs


b


d


j


g


ts

Geser

bs

f


w

0 s


z

S


z

x


y

h


L

Nasal


m

n


n

n

Lateral


l


L


Getar


r



R




bilabial

Labio-dental

Dental

Alveoar

Post Alveolar

Palatal

Velar

Glottal

STOP

p, b



t, d



k, g


AFFRICATE







d


NASAL

m



n





LATERAL




I





FRICATIVE


f, v

o

s, z

r



h

SEMI-VOWEL

w









Semi-vokal

geletar

geseran

sampingan

sengau

paduan

letupan

Jenis konsonan



Tempat artikulasi

W




m


pb

Bilabial

W


v





Inbio-dental








Apiko-dental


r


l

n


td

Apiko-alveolar



r




td

Apiko-palatal (retrofleks)



sz





Lamino-alveolar

J




n

t d

td

Medio-laminal







kg

Dorso-velar


r (R)






Uvular



h





Faringal







?

Hamzah



  1. Morfologi

Morf : bentuk atau wujud yang bisa didengar, diucapkan, diujarkan. Morf ada pada tataran parole.

Morfem : abstraksi dari morf.

Alomorf : sejumlah morf yang menjadi anggota dari morfem yang sama.

Contoh: membakar bakar dibakar

menyapu sapu disapu

mencubit cubit dicubit

menggulai gulai digulai

melarang larang dilarang

Semua imbuhan yang bergaris bawa adalah anggota dari morfem yang sama, yaitu me(nasal) / me(N). artinyabisa ada, bisa tidak.

Morfologi dikaji untuk mengklasifikasi atau membeda-bedakan setiap jenis dan macam bahasa.

Jenis-jenis morfem

      • Morfem terikat, morfem yang harus digabung atau dirangkai dengan morfem lain, karena tidak dapat berdiri sendiri. Contoh: {di-}, {me-}, {juang}, dan lain-lain.

      • Morfem bebas, morfem yang dapat berdiri sendiri, walaupun tanpa harus digabung. Contoh :{pulang}, {cubit}

      • Morfem monofonemis, morfem yang terdiri dari satu fonem

Contoh : asusila-a (tidak), irasional-I (tidak), dan lain-lain.

      • Morfem polyfonemis, morfem yang terdiri dari lebih dari satu fonem. Contoh : {di-}, {-an}, {-kan}, dan lain-lain.

      • Morfem kosong (zero morfem). Contoh : makan (aktif)

      • Morfem bermakna leksikal, morfem yang mempunyai makna kamus. Contoh: {juli} (bulan ketujuh tahun masehi)

      • Morfem tidak bermakna leksikal, morfem yang tidak mempunyai makna dalam kamus.

      • Morfem segmental, morfem yang bisa dilafalkan, diujarkan dengan morfem ujaran. Contoh : {di-}-d+i

      • Morfem suprasegmental, morfem yang berintonasi (memiliki lagu-lagu). Biasanya terdapat pada bahasa yang menggunakan tone language / bahasa bunyi, seperti pada bahasa cina.

      • Morfem utuh, morfem yang tidak bisa dibelah dan tidak pernah disispi. Contoh : ibu, ayah (tidak pernah disisipi)

      • Morfem terbelah, morfem yang terbelah dan dapat disispi. Contoh : gerigi- asal katanya gigi dan dapat imbuhan –er di dalamya, gemetar-asal katanya getar dan dapat imbuhan-em di dalamnya.


  1. Proses Morfologi

Proses morfologi: proses penggabungan morfem menjadi kata.

Contoh : berlari-lari, terdiri atas morfem lari, ber-, dan R

Beberapa jenis proses morfologi:

  1. Afiksasi : penambahan afiks atau imbuhan

Contoh : di + makan = prefiks

makan + an = sufiks

gemetar = getar + em = infiks

ke + ada + an = ada + ke-an = konfiks

  1. Reduplukasi : pengulangan

Contoh : rumah-rumah = rumah, R

Kemerah-merahan = ke-an, merah, R

  1. Suplisi : perubahan morfem berdasarkan waktu (seperti dalam bahasa inggris misalnya)

Contoh : go – went (pergi)

good – best (baik)

  1. Modifikasi : berubah tapi kosong

Contoh : cut-cut, put-put, memukul, menjahit, mencuci, Ø makan.

  1. Komposisi : kemajemukan atau bergabungnya dua morfim dan menimbulkan makna baru.

Contoh : rumah sakit = rumah, sakit


  1. Dasar-Dasar Sintaksis

Sintaksis adalah penyusunan kata menjadi kalimat yang gramatikal.

Alat sintaksis adalah urutan kata (dalam bahasa latin tidak digunakan), bentuk kata, intonasi, dan kata tugas. Yang dimaksud dengan kata tugas adalah kata yang mempunyai makna gramatikal dan hanya bisa hidup hanya dalam kalimat yang gramatis.

Contoh : di, ke, dan, yang, dari, dan lain-lain.

Obyek kajian sintaksis

      • Frase, kelompok kata yang tidak membentuk hubungan predikatif dan tidak melebihi batas fungsi. Contoh : gedung baru itu(S) bagus(P) sekali.

      • Klausa, kelompok kata yang membangun hubungan predikatif yang berpotensi menjadi kalimat jika diberi intinasi akhir atau final. Klausa bersifat abstrak, tidak berwujud dan tidak dapat didengar. Contoh : saya makan (diawali dengan huruf kecil, tidak diberi intonasi akhir berupa titik, tanda seru, dan tanda tanya).

      • Kalimat, ujaran yang diapit oleh dua kesenyapan sedanglan intonasinya menunjukan bahwa ujaran tersebut telah selesai. Contoh : keluar! (termasuk dalam kalimat walaupun hanya terdiri dari satu kata, karena mempunyai intonasi akhir.

Analisis kalimat.

      • Analisis kategori, mengelompokkan kata-kata yang ada dalam kalimat berdasarkan bentuk dari perilaku kata-kata itu. Contoh : kuda tertawa (kalimat tersebut tidak dapat diterima karena kuda adalah non human), adik makan (diterima karena human).

      • Analisis fungsi, melihat kedudukan kata ini dengan kata lain. Contoh : Ali(S) makan(P) mie(O).

      • Analisis peran, contoh : Ali(S) makan(P) mie(O) – Mie(S, penderita) dimakan(P) Ali(O).


  1. Semantik

Berasal dari bahasa latin, sema berarti tanda, semaino berarti menandai atau berarti. jangkauan semantik meliputi seluruh aspek lunguistik kecuali fonologi.

Jenis makna.

    • Makna leksikal.

      • Denotatif, makna referensial atau makna yang sesungguhnya. Contoh : tikus (hewan).

      • Konotatif, makna perluasan yang menunjukkan pada sesuatu yang lain. Contoh : tikus (koruptor).

    • Makna idiomatik, kata-kata yang disusun menjadi makna yang berlainan. Contoh : rumah sakit, narapidana.

Mengkaji perubahan makna.

    • Makna peyoratif, perubahan makna jelek menjadi baik. Contoh : pelacur-WTS, PSK.

    • Hubungan antarmakna

Hiponim, sinonim, antonim, meronim.

Kajian bahasa meliputi fonologi, morfologi, sitaksis, wacana-pendekatan pragmatis (bahasa dan konteks), dan semantik.


  1. Wacana

Bergantung pada ciri konteks atau situasinya. Contoh : Aduh cantiknya! (kalimat tersebut akan menimbulkan reaksi yang berbeda jika diucapkan pada gadis usia 17 tahun dengan nenek yang berusia 80 tahun). Konteks dari wacana ini adalah berupa waktu, tempat, situasi, kondisi, dan topik.

tekstur juga menjadi kajian dari wacana. tekstur ini adalah hubungan yang logis, sistematis antara hubungan wacana.

Contoh : 1. Pak Joni membeli mobil baru.

2. Mazda itu berwarna merah.

3. Merah adalah warna favorit remaja sekarang.

(1) dan (2) masih berhubungan, tetapi (3) sudah lepas.

Penanda kohesi.

Contoh : Pak Joni membeli mobil baru, mazda itu berwarna merah.

Penanda koherensi.

Contoh : 1. Matahari Jakarta serasa di ubun-ubun.

2. Ratusan pemuda bergoyang dalam irama jazz.

membangun koherensi dengan syarat pembaca harus membayangkan mengenai maksud daru dua kalimat tersebut (ada konser musik jazz saat cuaca panas dan para penontonnya bergoyang).

Prev: PENGEMIS DI STIT BALARAJA
Next: KLASIFIKASI BUNYI DAN CARA MENGHASILKANNYA

04.27

Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?


1. Pendahuluan

Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.

Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.

2. Definisi Pragmatik

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

3. Perkembangan Pragmatik

Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.

Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).

Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.

Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.

Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).

4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik

4.1 Teori Tindak-Tutur

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).

Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.

(1) Ada enam kata dalam kalimat ini

(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono

Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).

Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.

(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)

(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)

Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.

Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).

Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.

4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)

Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).

Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).

4.3 Implikatur (Implicature)

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.

(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya

(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok

Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?

Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.

4.4 Teori Relevansi

Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.

(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.

Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.

(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?

B: At the weekend.

A: What weekend?

B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?

A: That might be cheaper. Then that's fifty.

Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.

4.5 Kesantunan (Politeness)

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.

(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?

b. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).

Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.

(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)

b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)

c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)

e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)

Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).

5. Pragmatik dalam Linguistik

Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.

Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

6. Penutup

Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.

Daftar Acuan

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.

Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.