SELAMAT DATANG DI BLOG RIDWAN SAPUTRA....
08.06

Fonetik

OBJEK KAJIAN FONETIK
Bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipakai oleh manusia untuk tujuan komunikasi. Hal itu merupakan fenomena yang menggabungkan dua dunia, yakni dunia makna dan dunia bunyi. Bahasa mempunyai tiga subsistem yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Ketiga subsistem tersebut berhubungan dengan aspek-aspek semantis.

sistem fonologis yang meliputi unsur bunyi bahasa yang berhubungan dengan unsur artikulatoris, akustis, dan auditoris dikaji oleh fonetik; unsur bunyi bahasa yang berhubungan dengan fungsinya dalam komunikasi dikaji oleh fonemik. Subsistem gramatikal yang meliputi kata, bagian kata (morfem), dan proses pembentukan kata dikaji oleh morfologi; sedangkan susunan kata yang berupa frasa, klausa, kalimat, dan wacana dikaji oleh sintaksis. Subsistem leksikal yang meliputi kosakata (leksikon) dikaji oleh leksikologi. Subsistem fonologi, gramatikal, dan leksikal berhubungan dengan aspek-aspek semantis atau makna dikaji oleh semantik.

Batasan dan Kajian Fonologi

Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ‘ilmu bunyi’. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi, baik yang diucapkan (etik, parole), maupun yang masih dalam pikiran (emik, Langue). Objek kajian fonologi yang pertama disebut bunyi bahasa (fon) disebut tata bunyi (fonetik). Adapun yang mengkaji fonem disebut tata fonem (fonemik).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya, dan perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.

Batasan Fonetik

Istilah fonetik berasal dari bahasa Inggris phonetics artinya ‘ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan arti (Verhaar,1982:12; Marsono, 1989:1). Menurut Sudaryanto (1974:1), fonetik mengkaji bunyi bahasa dari sudut ucapan (parole).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonetik merupakan cabang fonologi yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa dari sudut ucapan, bagaimana cara membentuknya sehingga menjadi getaran udara dan dapat diterima oleh pendengaran.

Jenis Fonetik

Berdasarkan sudut pandang bunyi bahasa, fonetik dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni: (1) fonetik organis, (2) fonetik akustis, dan (3) fonetik auditoris (Bloch & Trager, 1942: 11; Verhaar, 1982: 12).

1) Fonetik Organis

Fonetik organis (artikulatoris, fisiologis) yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan mekanisme alat-alat ucap manusia dalam menghasikan bunyi bahasa (Gleason, 1955: 239). Jadi, fonetik organis ini mendeskripsikan cara membentuk dan mengucapkan bunyi bahasa, serta pembagian bunyi bahasa berdasarkan artikulasinya. Fonetik ini sebagian besar termasuk ke dalam bidang garapan linguistik. Oleh sebab itu, para linguis memasukkannya pada bidang linguistik teoretis. Kajian fonetik pada BBM ini pun mendeskripsikan fonetik organis.

2) Fonetik Akustis

Fonetik akustis yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan bunyi bahasa berdasar pada aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara (Malmberg, 1963: 5). Bunyi bahasa dikaji frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, beserta timbrenya. Fonetik akustis erat hubungannya dengan fisika, atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan fisika. Fonetik akustis berfungsi praktis seperti dalam pembuatan telepon, rekaman piringan hitam, cassette recorder,

3) Fonetik Auditoris

Fonetik auditoris yaitu fonetik yang mengkaji dan mendeskripsikan cara mekanisme pendengaran penerimaan bunyi-bunyi bahasa sebagai getaran udara (Bronstein & Jacoby, 1967:70-72). Fonetik auditoris ini sebagian besar termasuk pada bidang neurologi (kedokteran), atau merupakan ilmu antardisiplin antara linguistik dan kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

Aminoedin, A., dkk. 1984. Fonologi Bahasa Indonesia: Sebuah Studi Deskripstif. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bloch, Bernard & George L. Trager. 1942. Outline of Lnguistics Analysis. Baltimore, Md.: Linguistics Society of America.

Bloomfield, Leonard. 1995. Language: Bahasa. (terjemahan: I. Soetikno). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Bronstein, Arthur J. & Beatrice F. Jacoby. 1967. Your Speech and Voice. New York: Random House.

Dodd, H. Robert & Leo C. Tupan. 1961. Bunyi dan Ejaan Bahasa Inggeris (Pengantar Ilmu, Fonetik). Bandung­: Ganaco.

Fries, Charles C. 1954. English Pronunciation Exercises. in Sound Segments, Intonation, and Rhythm. English Language Institute University of Michigan.

Gleason, Jr., H.A. 1961. An Introduction to Descriptive Linguis­tics. New York‑Chicago‑San Fransisco‑Toronto‑Lon­don: Holt, Rinehart and Winston.

Halim, Amran. 1974. Intonation in Relation to Syntax in Bahasa Indonesia. Proyek Pengembahanya Bahan dan Sastra In­donesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan‑Djambatan.

Hyman, L.M. 1975. Phonology: The Theory and Analysis. New York‑Chicago‑San Fransisco‑Toronto‑Lon­don: Holt Rinehart & Winston.

International Phonetic Association. 1970. The Principles of the International Alphabeth and the Manner of using It, Illustrated by the Text in 51 Languages. London: Departement of Phonetics, University College.

Jones, Daniel. 1958. The Pronunciation of English. Fourth Edition, Cambridge, Great Britain at the University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1987. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Ladefoged, Peter. 1973. Preliminaries to Linguistic Phonetics. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Lapoliwa, Hans. 1981. Dasar‑Dasar Fonetik. Penataran Linguistik Umum Tahap 1, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem­bahanya Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik (terjemahan:I. Soetikno). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Malmberg, Bertil. 1963. Phonetics. New York: Dover Publica­tions.

Marsono. 1989. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa:Pengantar (terjemahan:Rahayu Hidayat). Yogyakarta: Kanisius.

Mol, H. 1970. Fundamrntals of Phonetics II. The Hague‑Paris:Mouton.

O’Connor, J.D. 1970. Better English Pronounciation. London: Cambridge University Press.

Pike, K.L. 1971. A Technique for Reducing Language to writing. Ann Arbor: Michigan Press.

Pike, Kenneth L. 1947. Phonemics A technique for Reducing Languages to Writing. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Robins, R. H. 1989. Linguistik Umum:Sebuah Pengantar (terjemahan:Soenarjati Djajanegara). Yogyakarta: Kanisius.

Samsuri. 1994. Analisis Bahasa: Memahami Bahasa secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga.

Sommerstein, Alan H. 1977. Modern Phonology. University Park Press.

Sudaryanto. 1974. Fonetik:Ilmu Bunyi yang Penyelidikannya dari sudut Parole. Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada

Verhaar, J. M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: UGM Press.

Yusuf, Suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: Gramedia.

08.05

Semantik atau Ilmu Makna

A. Pengertian dan Cakupan Semantik

Semantik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari segala sesuatu tentang makna. Semantik berada di luar gramatika bahasa yang lain halnya dengan morfologi dan sintaksis yang berada pada tataran gramatika bahasa. Cakupan semantik sangat luas mencakup semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, paragraf, maupun wanaca. Dengan demikian, semantik adalah ilmu makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.

Semantik dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang ditampilkan oleh semantik sekadar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa. Kehidupan mental pemakai bahasa, sangatlah luas yang mempengaruhinya karena pemakai bahasa dapat ditinjau dari dua sisi kehidupannya, yaitu hidup sebagai makhluk individu maupun hidup sebagai makhluk sosial di dalam masyarakat. Dengan hidup bermasyarakat pemakai bahasa terus berkembang dengan demikian tidaklah mengherankan bila kehidupan mental, isi mental, penampilan mental bahasa berkembang pula.

Selain semantik berhubungan erat dengan kehidupan sosial yang selanjutnya dapat dikaji dalam kaitan hubungan antara semantik dengan sosiologi, semantik juga mempunyai hubungan yang tidak lepas pentingnya dalam perkembangan ilmu bahasa secara khusus maupun perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dapat dilihat bagaimana hubungan semantik dengan ilmu filsafat, dalam rangka mengkaji makna berdasarkan filosofisnya; semantik dengan ilmu antropologi, dalam kaitan mengkaji makna bahasa dalam unsur-unsur budaya; semantik dengan psikologi, dalam rangka kajian makna bahasa yang dikaitkan dengan situasi kejiwaan manusia pemakai bahasa; dan semantik dengan linguistik sebagai ilmu induknya, serta tidak menuntut kemungkitan semantik dapat berhubungan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya dalam rangka menemukan makna-makna bahasa dalam setiap bidang kehidupan.



B. Ilmu Makna

Makna merupakan aspek penting dalam sebuah bahasa karena dengan makna maka sebuah komunikasi dapat terjadi dengan lancar dan saling dimengerti. Tetapi seandainya para pengguna bahasa dalam bertutur satu sama lain tidak saling mengerti makna yang ada dalam tuturannya maka tidak mungkin tuturan berbahasa bisa berjalan secara komunikatif. Di sini dituntut antara penutur dan lawan tuturnya harus saling mengerti makna bahasa yang mereka tuturkan.

Di dalam semantik, istilah makna, dalam bahasa Inggris sense dibedakan dari ‘arti’, dalam bahasa Inggris meaning. Arti dalam hal ini menyangkut makna leksikal dari kata-kata tersebut yang cenderung terdapat di dalam kamus sebagai leksem. Kadang-kadang kita melihat makna kata dari kamus yang sebenarnya adalah makna leksikal, atau keterangan dari leksem itu sendiri. makna suatu kata tidak hanya mengandung makna leksikal saja tetapi menjangkau kesatuan bahasa yang lebih luas. Makna kata tidak lepas dari makna kata yang lainnya merupakan makna gramatikal yang sesuai dengan hubungan antarunsur-unsurnya. Terkadang kita tidak puas ketika mencari makna sebuah kata, terutama makna idiom, peribahasa, majas, metapora, maupun ungkapan.

Aspek makna terdiri atas empat, yaitu pengertian, perasaan, nada, dan tujuan. Keempat aspek makna tersebut dapat dipertimbangkan melalui pemahaman makna dalam proses komunikasi sebuah tuturan. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam komunikasi sehari-hari yang melibatkan tema, sedangkan makna perasaan, nada, dan tujuan dapat kita pertimbangkan melalui penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

Medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan, sedangkan komponen makna adalah satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau ujaran dalam suatu komunikasi. Kata-kata atau leksem-leksem dalam sebuah medan makna atau satu medan leksikal dapat dianalisis dengan menggunakan analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna atau analisis ciri-ciri leksikal.



C. Relasi Makna

Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantic yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase, klausa, maupun kalimat. Hubungan-hubungan relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna yang disebut sinonimi, pertentangan atau perlawanan makna yang disebut antonimi, ketercakupan makna yang disebut hiponimi, kegandaan makna yang disebut homonimi, atau juga kelebihan makna yang dinamakan polisemi.

Unsur-unsur leksikal dalam bahasa dapat dibandingkan menurut hubungan semantik, di antaranya dapat berupa sinonim, hubungan yang sama atau hampir sama (mirip); berupa antonim, hubungan yang maknanya berlawanan atau kebalikan; berupa homonim, hubungan yang bermakna lain tetapi bentuk sama; berupa hiponim, hubungan yang makna ekstensionalnya merupakan sebagian dari makna ekstensional yang lainnya.



Unsur Semantik dan Jenis Makna

A. Unsur Semantik

Lambang menurut Plato adalah kata di dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang dihayati di dunia, berupa rujukan yang ditunjuk oleh lambang tersebut. Hubungan lambang dengan bahasa dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas tanda dan lambang.

Makna leksikal adalah makna hubungan antara kata-kata dengan unsure-unsur tertentu dalam sebuah peristiwa bahasa. Hubungan antara kata, makna kata, dan dunia kenyataan disebut hubungan referensial. Hubungan referensial adalah hubungan-hubungan yang terdapat pada, antara (1) kata sebagai satuan fonologis, yang membawa makna, (2) makna atau konsep yang dibentuk oleh kata, dan (3) dunia kenyataan yang ditunjuk (diacu) oleh kata.

Suatu nama dapat berfungsi sebagai istilah, istilah-istilah akan menjadi jelas bila diberi definisi, demikian pula nama. Istilah sama halnya dengan definisi, keduanya berisi pembahasan tentang suatu fakta, peristiwa atau kejadian, dan proses.



B. Jenis Makna

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan masyarakat, maka makna bahasa itupun menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda.

Kurang lebih ada dua belas jenis makna yang terdapat dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Kedua belas jenis makna tersebut adalah makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif dan makna emotif, makna referensial, makna konstruksi, makna leksikal dan makna gramatikal, makna idesional, makna proposisi, makna pusat, makna piktorial, dan makna idiomatik. Ada juga yang membagi jenis makna berdasarkan kesamaan atau lawan makna-makna yang lain, seperti Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi:

1. makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual;
2. makna referensial dan non-referensial;
3. makna denotative dan makna konotatif;
4. makna konseptual dan makna asosiatif;
5. makna kata dan makna istilah; dan
6. makna idiom dan makna peribahasa.

Sementara, Kridalaksana (1993) dalam Kamus Linguistik, menyebutkan jenis-jenis makna seperti: makna denotatif, makna ekstensi, makna gramatikal, makna hakikat, makna intensi, makna kiasan, makna kognitif, makna konotatif, makna konstruksi, makna kontekstual, makna leksikal, makna luas, makna majas, makna pusat, makna referensial, makna sempit, dan makna tak berciri.

Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie, 1976: 3). Situasi dapat berupa keadaan, peristiwa, dan proses. Keadaan sifatnya statis, sedangkan peristiwa dan proses bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang secara keseluruhan (prefektif), dan proses sifatnya dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperfektif). Perfektif atau situasi lengkap dapat dilihat dari awal, tengah, dan akhir. Imperfektif dengan konsep duratif menunjukkan proses sedang berlangsung, termasuk kebiasaan.

Ketiga unsure (aspek, kala, dan nomina temporal) memiliki hubungan yang erat. Keaspekan, kala, dan nomina temporal berbeda dalam hal: aspek berhubungan erat dengan macam perbuatan (situasi), tidak mempersoalkan tempatnya di dalam waktu, sedangkan kala dan nomina temporal menunjukkan terjadinya suatu perbuatan. Ketiga unsur tersebut termasuk struktur temporal, dapat membatasi situasi secara deiktik temporal.

Semua leksem persona adalah deiksis. Leksem ruang dan waktu, ada yang deiksis ada pula yang tidak deiksis. Leksem ruang yang tidak deiksis menjadi deiksis apabila dirangkaikan dengan leksem persona. Leksem ruang ada yang dipergunakan untuk mengungkapkan pengertian waktu tetapi hal sebaliknya tidak terjadi.

Deiksis dapat dibagi menjadi dua, yaitu eksopora dan endopora. Eksopora (deiksis luar tuturan) membicarakan tentang semantic leksikal, sedangkan endopora (deiksis dalam tuturan) membicarakan masalah sintaksis.



Ketaksaan (Ambiguitas) dan Perubahan Makna

A. Ketaksaan (Ambiguitas)

Ketaksaan atau ambiguitas merupakan bagian dari makna bahasa yang terdapat dalam sebuah tuturan atau tulisan. Ketaksaan atau ambiguitas dapat terjadi pada semua tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat, maupun sebuah wacana. Ketaksaan atau ambiugitas sering digunakan oleh para penutur dengan maksud-maksud tertentu, yang kadang-kadang sengaja dia buat untuk menyembunyikan maksud tuturannya yang sebenarnya, ini biasanya untuk menyindir seseorang namun dengan perkataan yang tidak dengan sesungguhnya.

Ketaksaan atau ambiguitas adalah sebuah tataran bahasa, baik kata, frase, klausa, maupun kalimat yang mempunyai beberapa arti, atau mempunyai lebih dari satu makna. Ketaksaan berdasarkan tataran bahasa yang terjadinya dapat dibagi menjadi tiga. Yaitu, (1) ketaksaan fonetis ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi pada tataran fonetik atau fonem; (2) ketaksaan gramatikal ialah ketaksaan atau ambiguitas yang terjadi akibat perpaduan kata dengan kata, sebuah morfem dengan morfem lain atau dengan kata yang terjadi dalam suatu hubungan struktur bahasa; dan (3) ketaksaan leksikal ialah ketaksaan yang terjadi pada tataran leksem atau kata, atau dengan kata lain ketaksaan leksikal adalah sebuah kata atau leksem yang mempunyai makna lebih dari satu makna, bisa terjadi pada relasi makna berupa homonim atau polisemi.



B. Perubahan Makna

Perkembangan makna bahasa mencakup segala hal tentang makna yang mengalami perkembangan. Perubahan makna bahasa merupakan gejala yang terjadi di dalam suatu bahasa akibat dari pemakaian yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor di dalam bahasa maupun di luar bahasa. Faktor-faktor itu diantaranya: faktor kebahasaan, faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologi, bahasa asing, dan faktor kebutuhan akan kata-kata baru.

Perubahan makna dapat terjadi pada beberapa hal sebagai berikut. Pertama, perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Kedua, perubahan makna akibat lingkungan. Ketiga, perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera. Keempat, perubahan makna akibat gabungan kata. Kelima, perubahan makna akibat tanggapan pemakaian bahasa. Dan keenam, perubahan makna akibat asosiasi.

Perubahan makna dapat dianggap sebagai akibat hasil proses yang dihasilkan oleh (1) hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam kosakata, (3) perubahan konotasi, (4) peralihan dari acuan kongret ke acuan abstrak, (5) timbulnya gejala sinestesia, dan (6) penerjemahan harfiah.

Perluasan makna merupakan proses perkembangan makna yang meluas, sebuah kata dengan makna yang asalnya sempit sekarang menjadi lebih luas. Misalnya, kata saudara, dahulu maksudnya hanya digunakan untuk menyebut orang seketurunan, tetapi sekarang dipakai untuk mereka yang sebaya dengan si penutur. Proses perkembangan makna selanjutnya, adalah pembatasan makna yaitu makna yang dimiliki lebih terbatas dibanding dengan makna semula. Dan pergeseran makna adalah perkembangan makna yang terjadi pada kata-kata yang eufemisme (melemahkan makna). Pergeseran makna terjadi pula pada bentuk imperatif.

Perubahan makna menurut Firth (1969) terdiri atas (1) perubahan secara logis, (2) perubahan secara psikologis, dan (3) perubahan secara sosiologis, sedangkan hubungan makna terdiri atas empat prinsif, yaitu prinsif inklusi, prinsif tumpang-tindih, prinsif komplementr, dan prinsif persinggungan.

Yang pertama, prinsif inklusi adalah prinsif yang terjadi sebagai akibat keinginan pemakai bahasa mengungkapkan sesuatu yang diacunya dengan cepat, atau ketidakmampuan pemakai bahasa untuk menciptakan nama benda (peristiwa). Kedua, prinsif tumpang-tindih, prinsif ini mengacu pada suatu kata yang mengandung berbagai informasi, misalnya, pada kata mempertanggungjawabkan. Ketiga, prinsif komplementer merupakan pasangan-pasangan yang saling melengkapi, baik yang berlawanan, berbalik, maupun timbal-balik. Dan keempat, prinsif persinggungan merupakan prinsif hubungan makna yang hampir sama dengan sinonim.

Gaya bahasa merupakan alat dalam berbahasa yang bersifat melukiskan, menggambarkan, menegaskan suatu pendapat atau ujaran. Sehubungan dengan ini Kridalaksana (1993), menegaskan arti gaya bahasa, yaitu (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa banyak macamnya. Di sini dapat disebutkan, (1) asosiasi, (2) metaphora, (3) personifikasi, (4) metonimia, (5) pleonasme, (6) hiperbolisme, (7) litotes, (8) euphimisme, (9) simbolik, (10) ironi, (11) cynisme, (12) sarkasme, (13) repetisi, (14) klimaks, (15) anti klimaks, (16) synecdoche, (17) paradok, (18) antithese, (19) koreksio, (20) inversi, (21) paralelisme, (22) retoris, dan (23) elipsi.

Secara garis besar Djajasudarma (1993), membagi gaya bahasa atau majas menjadi tiga golongan, yaitu (1) majas perbandingan yang terdiri atas: perumpamaan, kiasan, dan penginsanan; (2) majas pertentangan, terdiri atas: hiperbol, litotes, dan irono; dan (3) majas pertautan, terdiri atas: metonimia, sinekdoke, kilasan, dan eufemisme.



DAFTAR PUSTAKA

Bloch, Bernard & George L. Trager. 1942. Outline of Lnguistics Analysis. Baltimore, Md.: Linguistics Society of America.

Bloomfield, Leonard. 1995. Language: Bahasa. (terjemahan: I. Soetikno). Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Bronstein, Arthur J. & Beatrice F. Jacoby. 1967. Your Speech and Voice. New York: Random House.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Comrie, Bernard. 1976. Aspect. Cambridge: Cambridge University Press.

Comrie, Bernard. 1985. Tense. Cambridge: Cambridge University Press.

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: ERESCO.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 2. Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: ERESCO.

Juwono, Edhi. 1982. Beberapa Gejala Perubahan Arti. Dalam Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia. Th. 3. 3: 161-188. Jakarta: Bhratara.

Kempson, Ruth M. 1977. Sematics Theory. London: Cambridge University Press.

Lyons, Jons. 1979. Sematics Vol 1. Cambridge: Cambridge University Press.

Ogden, C.K. & f.A. Richard. 1972. The Meaning of Meaning. London: Routledge dan Kegau Paul Ltd.

Pateda, Mansoer. 1994. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.

Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah.

Purwo, Bambang Kuswanti. 1984. Deiksis Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Singleton, David. 2000. Language and Lexicon. London: Arnold.

Slametmuljana. 1969. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah

Soedjito. 1989. Sinonim. Bandung: Sinar Baru.

08.04

Frasa

Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas unsur klausa. Dari pengertian tersebut dapat diktakan bahwa frasa mempunyai dua sifat, yaitu: 1) Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih; 2) Frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu S, P, O, PEL, atau KET.



3.1.1 Kategorisasi Frasa

Berdasarkan distribusinya ada dua macam frasa, yaitu:

1) Frasa Endosentrik ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.

2) Frasa Eksosentrik adalah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya.

Berdasarkan kategorisasi kata ada lima macam frasa, yaitu:

1) Frasa Nominal adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal.

2) Frasa Verbal ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal.

3) Frasa Bilangan ialah prasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.

4) Frasa Keterangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan.

5) Frasa Depan ialah frasa yang terdiri atas dari kata depan sebagai penanda diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya.



a. Frasa Endosentrik

Fasa endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu:


1) Golongan Endosentrik yang Koordinatif

Frasa ini terdiri atas unsur-unsur yang setara/mempunyai fungsi yang sama dengan semua unsur langsungnya. Kesetaraan itu dapat dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungan dengan kata penghubung dan atau atau. Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa frasa endosentrik yang koordinatif itu ialah frasa yang unsur-unsurnya pembentuknya dapat dihubungkn oleh kata dan atau atau, misalnya: ayah ibu. dua tiga (hari), belajar bekerja.


2) Frasa Endosentrik yang Atributif

Berbeda dengan frasa endosentrik yang koordinatif frasa golongan ini terdiri atas unsur-unsur yang tidak setara. Karena itu unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan dengan kata penghubung dan atau atau, misalnya: sekolah inpres, baju baru, jendela rumah, sedang bernyanyi. Kata-kata yang bercetak miring dalam frase diatas yaitu sekolah, baju, dan jendela, merupakan unsur pusat (UP). Unsur pusat ialah unsur yang secara distribusi sama dengan seluruh frasa dan secara semantik merupakan unsur yang terpenting. Sedangkan unsur lainnya seperti inpres, baju, rumah, dan sedang merupakan atributif (Atr.)

3) Frasa Endosentrik Apositif

Frasa endosntrik apositif secara semantik unsur yang satu sama dengan unsur lainnya. Misalnya: Yogya, kota pelajar, ramai dikunjungi wisatawan manca negara. Unsur utama frasa tersebut ialah Yogya. Unsur keduanya ialah kota pelajar. Dalam kalimat tersebut unsur kedua memiliki unsur yang sama dengan unsur yang pertama. Karena sama, maka unsur kota pelajar dapat menggantikan unsur Yogya. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat berikut:

a) Yogya, kota pelajar, ramai dikunjungi wisatawan mancanegara.

Unsur Yogya yang merupakan unsur pusat (UP), sedangkan unsur kota pelajar merupakan aposisi (AP). Conto lain misalnya:

b) Indonesia, tanah airku

c) Asep, teman karibku

d) SBY, Presidenku



b. Frasa Eksosentrik

Frasa eksosentrik ialah frasa yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya.

Frasa di Bandung, ke Jakarta, dan si miskin, merupakan contoh frasa eksosentrik. Sebab, frasa di Bandung, ke Jakarta, maupun si miskin, tidak dapat berdistribusi sama dengan semua atau salah satu unsur pembentuknya. Ketidaksamaannya dapat dilihat dari jajaran di bawah ini:


1. Arif bertempat tinggal di –
2. Arif bertempat tinggal – Bandung
3. Minggu yang lalu kami pergi ke -
4. Minggu yang lalu kami pergi – Jakarta
5. Pada hari raya Idul Fitri si- pun ikut bergenbira
6. Pada hari raya Idul Fitri – miskin pun ikut bergembira


c. Frasa Berdasarkan Katagori Kata

Berdasarkan kategorisasi kata ada lima macam frasa, yaitu: 1) frasa nominal, 2) frasa verbal, 3) frasa bilangan, 4) frasa keterangan, dan 5) frasa depan.



1) Frasa Nominal (Frasa Benda)

Frasa nominal ialah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari jajaran:

Ia membeli baju baru

Ia membeli baju

Frasa baju baru dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang sama dengan kata baju. Kata baju termauk golongan kata nomial, karna itu, frasa baju baru termasuk golongan frasa nominal. Contoh-contoh lain, misalnya: mahasiswa lama, gedung sekolah, dosen yang bijaksana, kapal terbang itu, jalan raya ini, yang akan pergi.



2) Frasa Verbal

Frasa verbal atau frasa golongan V ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata verbal. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari adanya jajaran:

Dua orang mahasiswa sedang membaca buku baru di perpustakaan.

Dua orang mahasiswa – membaca buku baru di perpustakaan.

Frasa sedang membaca dalam klausa di atas mempunyai distribusi yang sama dengan kata membaca. Kata membaca termasuk golongan V, karena itu frasa sedang membaca juga termasuk golongan V.

Frasa akan pergi terdiri atas unsur akan dan pergi. Kata akan termasuk golongan kata tambah (T), sedangkan kata pergi termasuk golongan V. Jadi secara katagorial frase tersebut terdiri atas T sebagai Art diikuti V sebagai UP.



3) Frasa Bilangan

Frasa bilangan ialah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilanagn. Misalnya frase dua buah dalam dua buah rumah. Frase ini mempunyai distribusi yang sama dengan kata dua. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dengan jelas dari jajaran:

Dua buah rumah

Dua – rumah



4) Frasa Keterangan

Frasa keterangan ialah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata katerangan. Misalnya frasa tadi malam yang mempunyai persamaan distribusi dengan kata tadi. Persamaan distribusi itu dapat diketahui dari jajaran:

Tadi malam Ahmad menghadiri pertemuan keluarga.

Tadi – Ahmad menghadiri pertemuan keluarga.



5) Frase Depan

Frasa depan ialah frasa yang terdiri atas kata depan sebagi penanda, diikuti oleh kata atau frasa sebagai aksisnya. Farsa di sebuah rumah terdiri atas kata depan di sebagai penanda, diikuti frasa sebuah rumah sebagai aksisnya. Kata depan menandai berbagai makna. Dalam frasa di sebuah rumah kata depan di menandai hubungan makna ‘keberadaan’ di suatu tempat.



DAFTAR PUSTAKA



Ramlan, M. 1978. Kata Verbal dan Proses vebalisasi dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gajah Mada.

Ramlan, M. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.

Samsuri. 1994. Analisis Bahasa: Memahami Bahasa secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga.

Slametmuljana. 1969. Kaidah Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah

Tarigan, Hendri Guntur. 1995. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.

07.54

PRAGMATIK "DEIKSIS"

DAFTAR ISI

Prakata..................................................................................................................


i

Daftar Isi...............................................................................................................


ii

BAB I


PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang ..........................................................................


1



1.2 Rumusan Masalah .....................................................................


2



1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................


2



1.4 Manfaat Penulisan ……………………………………………


2

BAB II


PEMBAHASAN




2.1 Kajian Pragmatik ....……..........................................................


3



2.2 Pengertian Deiksis ..….............................................................


7



2.3 Jenis Deiksis .………………....................................................


9



2.4 Penggunaan Kata Ganti Nondeiksis ………………………….


18



2.5 Deiksis dan Acuan ……………………………………………


19

BAB III


PENUTUP




3.1 Simpulan ……………………………………………………...


24



3.2 Saran ………………………………………………………….


24

DAFTAR PUSTAKA



***

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain yang di sekitarnya. Sejak awal hidupnya dia sudah bergaul sosial dengan terdekat, meskipun bentuk masih satu arah-orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarnya saja. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja dia harus hidup bermasyarakat. Ini berarti bahwa dia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehinngga kempetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use). Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan pragmatik.

Suatu informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan (sufficient) dalam struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Persoalan akan muncul, bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya. Deiksis adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini dalam suatu informasi. Menariknya, meski deiksis ini erat kaitannya dengan konteks berbahasa, namun tidak masuk dalam kajian pragmatik karena sifatnya yang teramat penting dalam memahami makna semantik. Dengan kata lain deiksis merupakan ikhtiar pragmatik untuk memahami makna semantik.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang di sampaikan di atas, ada beberapa permasalah yang disampaikan.

1. Apa itu deiksis?

2. Ada berapa jenis deiksis?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah di atas, ada beberapa manfaat yang ingin dicapai.

1. Mengetahui apa itu deiksis.

2. Mengetahui jenis-jenis deiksis.

1.4 MANFAAT PENULISAN

· Mahasiswa

Bagi mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia, makalah ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan penunjang kegiatan perkulliahan. Makalah ini dapat mambantu kesulitan mahasiswa dalam menemukan referensi yang tepat mengenai kajian Pragmatik, khususnya Deiksis.

· Dosen

Bagi dosen, makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk memberikan pengajaran tentang Pragmatik, khusunya tentang Deiksis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KAJIAN PRAGMATIK

Istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris (1938). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.

Berbeda dengan Charles Morris, Carnap (1938) seseorang filosof dan ahli logika menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak tertentu yang menunjukkan pada agents. Dengan perkataan lain, pragmatic mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda dengan pemakai tanda tersebut. Selanjutnya, ahli lainkan Montague mengatakan bahwa pragmatic adalah Studi yang mempelajari idexical atau deictic. Dalam pegertian yang terakhir ini, pragmatic berkaitan dengan teori rujukan/deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakainya.

Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.

Leech (1983:6(dalam Gunawan 2004:2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik dan komplementarisme atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragmatik dibedakan menjadi dua hal:

1. Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa.
2. Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar

Pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek-aspek proses komunikatif (Noss dan Llamzon, 1986). Menurut Noss dan Llamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antar peran, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakekatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.

Pragmatik adalah kajian tentang penggunaan bahasa sesungguhnya. Pragmatik mencakup bahasan tentang deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan. Deiksis adalah kata yang tidak memiliki referen yang tetap ( tetapi berubah-ubah ) seperti kata saya, sini, sekarang. Misalnya dalam dialog antara A dan B, saya secara bergantian mengacu kepada A atau B. Kata sini mengacu kepada tempat yang dekat dengan penutur, kata sekarang mengacu kepada waktu ketika penutur sedang berbicara.

Praanggapan mengacu kepada makna tersirat yang ” mendahului“ makna kalimat yang terucapkan ( tertulis ). Makna ini dapat ditangkap dan disimpulkan oleh pendengar ( pembaca ). Kalau kita mendengar ujaran “ibunya sedang sakit”, maka “makna lain” yang bisa ditangkap, yaitu ‘dia mempunyai ibu.’ Inilah yang disebut praanggapan. Untuk mengecek kebenarannya, kita dapat menggabungkan keduanya dengan menempatkan praanggapan di depan ujaran tadi menjadi: “Dia mempunyai ibu, ibunya sedang sakit”. Tetapi, praanggapan itu akan janggal jika ditempatkan di belakang.

Praanggapan berbeda dengan pengartian. Yang disebut pengartian yaitu “makna lain” yang “mengikuti” suatu ujaran. Misalnya kalau kita mendengar ujaran “ini bunga”, maka sebenarnya ada sejumlah makna yang menyertai makna ujaran itu yaitu “pantas wangi” (ini) bukan kerbau. Kalau digabungkan akan menjadi seperti ini:

“ini bunga. Pantas wangi.”

“ini bunga. Bukan kerbau.”

Dalam kehidupan sehari-hari pengartian banyak sekali didahului kata “Artinya, ….”, “itu berarti,….” Jadi, semacam simpulan atau tambahan pengertian (atau makna) atas ujaran yang mendahuluinya.

Tindak tutur adalah suatu ujaran sebagai suatu satuan fungsional dalam komunikasi. Di dalam teori tindak tutur, ujaran itu mempunyai dua jenis makna yaitu:

§ Makna proposisional (disebut juga makna lekusioner). Makana ini merupakan makna harafiah dasar dari ujaran yang disampaikan (dibawa) oleh kata atau struktur yang dikandung oleh ujaran itu.

§ Makna ilokusioner (daya ilokusioner). Makna ini merupakan efek yang dipunyai oleh teks tertulis atau ujaran terhadap pembaca atau pendengar. Misalnya kalimat “Saya haus.” Makna proposisionalnya adalah apa yang dikatakan tentang keadaan fisik penutur.

Daya ilokusioner adalah efek yang diinginkan penutur yang dipunyai oleh ujaran terhadap pendengar. Ujaran di atas misalnya mungkin dimaksud untuk meminta sesuatu untuk diminum. Sebuah tindak tutur adalah kalimat atau ujaran yang mempunyai makna proposisional dan daya ilokusioner. Sebuah tindak tutur yang dibentuk secara tidak langsung kadang-kadang disebut tindak tutur tidak langsung, seperti tindak tutur dalam contoh di atas (“saya haus”). Tindak tutur ini sering dirasakan lebih sopan untuk membangun tindak tutur tertentu, misalnya permintaan penolakan.

Implikatur percakapan mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya, makna keterkaitan itu tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu. Dalam hal itu Soemarmo (dalam Dardjowidjojo, 1988) member contoh cakapan berikut:

A: “Kamu masih di sini.”

B: “Bus ke Muntilan baru saja lewat.”

Kalau hanya melihat kedua ujaran A dan B itu kita tidak memperoleh keterkaitan, karena A berbicara (mungkin dengan keterkejutan atau keheranan masih di sini, di Jogja) tentang B yang ada di depannya, sedangkan B berbicara tentang bus yang ke Muntilan. B tidak perlu heran, karena ada kebenaran bahwa “B ada di sini”. Meskipun A berujar demikian. Mengapa? Karena B menyadari bahwa A tahu betul seharusnya B sudah berangkat ke Muntilan (dan tidak “di sini”). Sebaliknya, A juga tidak perlu heran karena B mengucapkan kalimat itu karena kalimat B tadi merupakan alasan mengapa dia belum berangkat (dan arena itu masih di sini). Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis makna yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing partisipan.

2.2 PENGERTIAN DEIKSIS

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.

Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.

Lavinson (1983) memberi contoh berikut untuk menggambarkan pentingnya informasi deiksis. Misalnya anda menemukan sebuah botol di pantai berisi surat di dalamnya dengan pesan sebagai berikut :

(1) Meet me here a week from now with a stick about this big.

Pesan ini tidak memiliki latar belakang kontekstual sehingga sangat tidak informatif. Karena unkapan deiksis hanya memiliki makna ketika ditafsirkan oleh pembaca. Pada dasarnya ungkapan deiksis ini masuk dalam ranah pragmatik. Namun karena penemuan makna ini sangat penting untuk mengetahui maksud dan kondisi yang sebenarnya maka pada saat yang sama masuk dalam ranah semantik. Dengan kata lain dalam kasus ungkapan deiksis, proses pragmatik dalam mencari acuan masuk dalam semantik. Umumnya kita dapat mengatakan ungkapan deiksis merupakan bagian yang mengacu pada ungkapan yang berkaitan dengan konteks situasi, wacana sebelumnya, penunjukan, dan sebagainya.

Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.

Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.

Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).

Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).

Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).

Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

2.3 JENIS-JENIS DEIKSIS

Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40). Selain itu Kaswanti Purwo (Sumarsono: 2008;60) menyebut beberapa jenis deiksis, yaitu deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk. Sehingga jika digabungkan menjadi enam jenis deiksis. Paparan lebih lengkap sebagai berikut.

a. Deiksis Persona

Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.

Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.

Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).

Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.

Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).

Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.

Deiksis perorangan menunjukan subjektivitas dalam struktur semantik. Deiksis perorangan hanya dapat ditangkap jika kita memahami peran dari pembicara, sumber ujaran, penerima, target ujaran, dan pendengar yang bukan dituju atau ditarget. Dengan demikian kita dapat mengganti kata ganti dan kata sifat pada contoh (6) dengan contoh (7) atau (8) dalam proses ujaran.

(6) “give me your hand”

(7) “give him your hand”

(8) “I give him my hand”

Berikutnya, penting kiranya melihat jumlah jamak yang berbeda maknanya ketika kita terapkan pada orang pertama dan orang ketiga. Pada orang pertama, bukan berarti multiplikasi dari pembicara. Juga, “we” dapat menjadi inklusif atau eksklusif dari yang ditunjuk. Sistem kata ganti berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena ragam perbedaan ditambahkan seperti jumlah dua, jenis kelamin, status sosial, dan jarak sosial. Lebih-lebih, istilah keturunan juga menunjuk pada deiksis. Misalnya, dalam bahasa Aborigin Australia ada istilah yang digunakan untuk seseorang yang merupakan bapak pembicara dan merupakan kakek pembicara. Bapak pembicara yang bukan kakek pembicara akan ditunjukan dengan istilah yang lain.

Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).

Dalam bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona pertama, persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9).

Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172).

1. Pronomina Persona Pertama

Dalam Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.

Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

2. Pronomina Persona Kedua

Pronomina persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.

Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.

Pronomina persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu.

3. Pronomina Persona Ketiga

Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik.

Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.

Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.

b. Deiksis Tempat

Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.

(8) a. Duduklah kamu di sini.

b. Di sini dijual gas Elpiji.

Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.

Deiksis tempat menunjukan lokasi relatif bagi pembicara dan yang dibicarakan seperti pada “ten metres further”, ‘ten miles east of here’, ‘here’, there’. Misalnya kita dapat mendefinisikan here sebagai unit ruang yang mencakup lokasi pembicara pada saat dia berujar atau lokasi terdekat pada lokasi pembicara pada saat berujar yang mencakup tempat yang ditunjuk jika ketika berkata here diikuti gerakan tangan. Ukuran dari lokasi juga berbeda-beda, yang di pengaruhi oleh pengetahuan latar belakang. Here dapat berarti kota ini, ruangan ini, atau titik tertentu secara pasti. Dalam hal kata ganti this dan that, pilihan juga dapat didiktekan berdasarkan kedekatan emosional (empathy) dan jarak. Hal ini sering disebut deiksis empathetik. Dalam beberapa budaya, kata ganti demonstratif ini dapat dibedakan lebih berdasarkan prinsip-prinsip daripada jarak pembicara, seperti (i) dekat pada yang dibicarakan, (ii) dekat pada audien, (iii) dekat pada orang yang tidak ikut peristiwa (iv) berdasarkan pada arah-above-below, atau bahkan (v) kalihatan tidak kelihatan pada pembicara atau (vi) upriver- downriver dari pembicara, tergantung pada sistem dalam mengkonseptualisasi ruangan yang digunakan dalam bahasa tertentu. Deiksis tempat juga dapat menggunakan untuk waktu misalnya dalam contoh (14).

(14) I live ten minutes from here.

Tidak selalu mudah untuk memutuskan apakah penggunaan sebuah unngkapan itu deiksis atau non deiksis misalnya pada contoh (15). Pohon dapat berada di belakang mobil atau tertutup pandangan karena terhalang oleh mobil

(15) The tree is behind the car.

Seperti halnya pada contoh (16), anak laki-laki bisa berada di sisi kiri Tom atau di kiri Tom dari sudut acuan pembicara.

(16) The boy is to the left of Tom

c. Deiksis Waktu

Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.

(9) a. “I bought a book”.

b. “I am buying a book”.

Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:

(10) a. “I bought the book yesterday”.

b. “I bought the book 2 years ago”.

Deiksis waktu juga ditujukan pada partisipan dalam wacana. “Now” berarti waktu dimana pembicara sedang menghasilkan ujaran. Waktu pengujaran berbeda dari waktu penerimaan, meskipun dalam prakteknya peristiwa berbicara dan menerima memungkinkan berdekatan atau kotemporal. Pusat deiksis dapat ditujukan pada yang dibicarakan sebagaimana yang didiskusikan dalam contoh (9). “Now” mengacu pada waktu dimana yang dibicarakan mempelajari kebenaran, yang diikuti dengan waktu dimana pengarang mengungkapkan pesan.

(9) “You know the truth now. I knew it a week ago, so I wrote this letter”.

Hal menarik yang lain untuk diperhatikan adalah istilah “ today, tomorrow, yesterday” apakah mengacu pada hari keseluruhan atau pada saat tertentu, sebuah episode pada hari itu, seperti pada contoh (10) dan (11) berikut:

(10) “Yesterday was Sunday”.

(11) “I fell off my bike yesterday”.

Jumlah hari secara deiksis juga berbeda dari bahasa satu ke bahasa yang lain: bahasa Jepang memiliki tiga hari ke belakang dari “today” dan dua hari ke depan.

Waktu adalah paling mempengaruhi kalimat menjadi deiksis. Penting kiranya untuk membedakan antara gramatical tenses dan semantic temporallity. Misalnya, kalimat (12) dan (13) adalah non deiksis dan atemporal, meskipun kalimat tersebut memiliki nilai gramatikal.

(12) “A whale is a mammal”.

(13) “Cats like warmth”.

Dalam penelitian semantik tentang temporality atau ‘metalinguistic tense’ yang digali dari logika kala, terdapat perbedaan yang tegas antara (i) past, present dan future, (ii) prioritas relatif dari dua peristiwa dimasa lampau, dan juga antara (iii) hal-hal dalam waktu yang berlawanan dalam rentang waktu. Perbedaan-perbedaan ini tidak secara langsung masuk dalam tenses gramatikal karena tenses gramatikal ini juga mencakup aspect dan modality. Tenses gramatikal juga mencerminkan ketergantungan budaya dalam melihat waktu dan membaginya seperti afiks dalam bahasa Amahuaka yang diucapkan di Peru dimana rentang waktu mempengaruhi rentang sekarang separti halnya “ the morning” atau “the afternoon” tidak harus sebelum malam. Maka meskipun bahasa orang tenses gramatikal, bahasa tersebut tetap memiliki ungkapan temporallity.

d. Deiksis Wacana

Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.

(11) a. “Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”.

b. “Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli”.

Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.

e. Deiksis Sosial

Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).

f. Deiksis Penunjuk

Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu yang dekat dengan penutur, dan itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam kalimat-kalimat berikut.

1. Masalah ini harus kita selesaikan segera.
2. Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
3. Saat ini saya belum bisa ngomong.

Contoh-contoh di atas menunjukan, penggunaan deiksis ini dan itu tampaknya bergantung kepada sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia “merasa” sesuatu itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, sebaliknya itu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang jauh darinya.

Banyak bahasa mempunyai deiksis jenis ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan ini dan itu tadi. Bahasa jawa mengenal iki untuk sesuatu yang dekat dengan penutur dan iku dan kuwi untuk sesuatu yang tidak dekat tetapi tidak terlalu jauh, dan iko dan kae untuk yang sangat jauh.

2.4 PENGGUNAAN KATA GANTI NONDEIKSIS

Dalam ungkapan deiksis juga dikenal penggunaan non deiksis seperti dicontohkan dalam kalimat (23) sampai (28) berikut.

(23) You can never tell these days.

(24) There is this man I met in the cafe.

(25) Now, the next topic to discuss is presuposition.

(26) There you are.

(27) I was doing this and that.

(28) Their garage is opposite Honda’s. (vs. their garage is opposite).

Kata ganti juga digunakan secara non deiksis ketika kata ganti itu merupakan anafora dalam pengertian tata bahasa tradisional tentang kata. Dalam kalimat (29), pengacu itu sudah ada pada dalam teks awal daripada dalam konteks situasi. Dengan demikian, The boy mendahului dari anafora ‘he’.

(29) The boy fell off a tree and he was found by the gardener.

Sedangkan kalimat (17), kata ganti it digunakan meskipun acuannya adalah mobil yang dimiliki oleh tetangga, bukan mpbil yang dimiliki oleh pembicara. Maka, tidak ada identitas antara pendahulu dan anafor.

(17) I keep my car in the garage but my next door neighbour keeps it on his drive.

Kita menyebutnya penggunaan ‘it’ sebangai deiksis wacana.

Masalah hubungan anafora dengan kata ganti digunakan sebagai variabel juga muncul seperti pada kalimat (30) dimana ‘She’ mewakili variabel yang terikat dengan ungkapan bilangan every girl.

(30) Every girl thinks she should learn to drive.

Dalam kalimat (31), makna ‘it’ tidak bergantung pada ‘a donkey’ tetapi lebih khusus pada keledai yang dimiliki oleh petani.

(31) Every farmer who owns a donkey beats it.

Kata ganti yang awal (a donkey) merupakan variabel terikat dari ‘every farmer’, dan antara donkey dan kata ganti tidak terhubung secara sintaksis. Dengan kata lain tidak ada hubungan antara ‘a donkey’ dan ‘it’. Logika dari kalimat (31) adalah pada (31a)

(31a) VxVy ((farmer(x) & Donkey (y) & Owns (x,y)) à Beats (x,y))

Tetapi (31a) tidak sepenuhnya menterjemahkan kalimat (31). Tidak ada prosedur langsung yang dapat menterjemahkan kalimat (31) dan (31a).

Pada kalimat (32) tidak ada indikasi bagaimana menafsirkan cakupan dari penjelasan a farmer dan a donkey

(32) If a farmer owns a donkey. He is usually rich.

Jika kita membayangkan 99 petani miskin yang masing-masing memiliki satu keledai dan seorang petani dengan 200 keledai, maka perbedaan menjadi sangat nyata.

2.5 DEIKSIS DAN ACUAN

Mari kita bandingkan hal-hal semantik antara ungkapan deiksis dan acuan yang lain. Dari perspektif fungsi semantik bersyarat, kata ganti, dan demonstratif amat mirip dengan nama. Yaitu mengambil acuan, dan kalimat itu mengandung kebenaran jika predikatnya menunjukan kebenaran dari individu. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang esensial. Kata ganti dan demonstratif memiliki acuan variabel (veriable reference): kata ganti dan demonstratif tersebut mengambil acuan yang berbeda dari kesempatan penggunaan yang berbeda. Kalimat (33) kondisi kebenarannya sangat terlihat; tidak ada orang yang disebut Kasia Jaszczolt dan dia adalah seorang linguis.

(33) Kasia Jaszcozlt is a linguist.

Sekarang jika diungkapkan dalam kalimat (34) maka prosedur semantiknya akan terpecah meskipun maknanya sama

(34) I am a linguist.

Hal serupa juga terjadi pada kalimat (35)

(35) We are learning this now.

Batasan antara bergantung pada konteks dan tidak bergantung pada konteks tidak tegas karena memerlukan waktu yang khusus.

Persoalan utama dalam ungkapan deiksis adalah bahwa kalimat yang mengandung ‘I’ dapat mengungkapkan proposisi yang berbeda pada kesempatan penggunaan yang berbeda. Untuk mengatasi kesulitan ini dengan acuan dari ungkapan deiksis harus tetap. Jika acuan itu konstan, maka makna dari ungkapan deiksis akan tetap konstan dalam berbagai kalimat dan bentuk turunan.

(36) I like cheese and wine.

(37) I like cheese.

Berikutnya, perlakuan pada kata tunjuk dalam kalimat kompleks tidaklah semudah kata tunjuk dalam kalimat sederhana. Kita harus memutuskan, misalanya pada kalimat (38), apakah kata ‘that student’ harus dianalisis sebagai that sebagai ‘that’ sebagai kata penunjuk, atau penunjuk ‘that’ plus makna kata ‘student’.

(38) That student knows a lot about Tarski.

Terakhir, perbedaan jenis kelamin nampaknya juga tidak relevan dalam semantik, jika pembicara mengatakan kalimat (39), dengan menunjuk pada George Eliot yang tertera pada sampul buku, pembicara telah mengatakan sesuatu yang benar meskipun pengarangnya adalah seorang wanita, Mary Anne Evans.

(39) He also wrote Middlemarch.

Contoh (40) mengungkapkan pikiran sehingga kata ‘today’ harus mencerminkan pengertian dan juga acuan.

40) Today is fine.

Dalam kalimat (40) mengandung persoalan dalam acuannya. Sehingga dalam mencari acuan semisal kata today, yang juga diuajrkan day d, diartikan ‘jika dan hanya jika ada cara tertentu untuk mencari acuan kapan tepatnya hari tersebut. Penunjuk dalam pengertian berbeda mengungkapkan pengertian yang berbeda pula, dan hal ini beragam dalam berbagai situasi. Bahkan dalam masalah tenses, juga terdapat perbedaan tersebut. Kalimat (41) mungkin tidak benar ketika dikatakan di musim gugur.

(41) This tree is covered with green leaves.

Tetapi pengertian bukan hanya pikiran pribadi: kita juga harus dapat melacak objek ketika kalimat (40) dirubah menjadi kalimat (42) sehari kemudian.

(42) Yesterday was fine

Sehingga seseorang dapat berfikir dengan kondisi yang sama dalam kalimat (40) sehari setelahnya, meskipun ungkapan yang digunakan berbeda.

Dalam pemahaman seperti inilah, kehadiran sesuatu yang diacu menjadi teramat penting agar semantik dari ungkapan deiksis dapat terjelaskan, sekaligus sebagai bentuk ketergantungan pada konteks.

BAB III

PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris (1938). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.

Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).

3.2 SARAN

Makalah yang penulis buat tentunya masih jauh dari yang namanya “sempurna”. Ini disebabkan oleh keterbatasan penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Setelah membaca makalah ini, diharapkan pembaca mencari sumber – sumber lain yang berkaitan dengan Pragmatik khusunya tentang kajian Deiksis sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Karena ada pepatah yang mengatakan, “Semakin ilmu itu digali, maka semakin banyak yang tidak kita ketahui”. Jadikan hal tersebut sebagai pemacu Anda untuk terus maju dan meraih sukses.

DAFTAR PUSTAKA

Gunarwan, Asim. 1993. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, Jakarta, 26-27 Oktober 1993.

Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Sumarsono. 2008. Buku Ajar Pragmatik. Singaraja: Undiksha

Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Yule, George. 2006. Pragmatik (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

______. 1993. “Pragmatik: Pandangan Mata Burung”. Bahan Penataran Linguistik I, Unika Atma Jaya, Jakarta, 4-17 November 1993.

______. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. (terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.