SELAMAT DATANG DI BLOG RIDWAN SAPUTRA....
07.25

AKAL DAN HATI PADA ZAMAN MODERN


KAT PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji rasa syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana telah memberikan kenikmatan kepada kita semua, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

Sholawat serta Salam senantiasa tercurahkan kepada baginda kita Nabi Besar Muhamad SAW. Yang telah membawa umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman Islamiah.

Bergema seiring nada mengalunkan kata hati yang senantiasa mengungkapkan getaran jiwa, Penyusun dengan penuh kesadaran diri bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan, hal ini dengan keterbatasan kemampuan dan kedangkalan ilmu yang kami miliki. Dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan pihak yang turut membantu terselesainya makalah ini.

Akhirnya kepada Illahi kita berharap dan berdo’a, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca. Amin….!

Tangerang, …….2007

RIDWAN. SA




BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pada abad pertengahan, hegemoni antara akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu akal kalah total dan iman menang mutlak. Abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal manusia itu sudah membuktikan bahwa ia sanggup maju dengan cepat. Abad ini juga telah dipenuhi lembaran hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir kreatif, karena pemikirannya berlawanan atau berbeda dengan pikiran tokoh gereja. Abad ini tidak saja lamban, lebih dari itu secara pukul rata filsafat mundur pada abad ini jangankan menambah, menjaga warisan sebelumnya pun abad ini tidak mampu.

Banyak orang yang jengkel melihat dominasi Gereja. Mereka ingin segera mengakhiri dominasi itu. Akan tetapi, mereka khawatir mengalami nasib yang sama dengan kawan-kawannya yang telah dikirim ke akhirat. Sekalipun demikian ada juga pemberani, yang sanggup melawan arus deras itu. Orang itu adalah Rene Descarates.

2. Tujuan Penulis

Adapun tujuan penulis adalah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Filsafat, selain itu juga ada beberapa tujuan diantaranya :

a. Mengetahui lebih jauh tentang Akal Dan Hati Pada Zaman Modern

b. Untuk menambah wawasan dan pengalaman kami sebagai mahasiswa/ i

3. Pembatasan masalah

Karena keterbatasan waktu, pikiran dan tenaga maka kami membatasi tentang Akal dan Hati Pada Zaman Modern

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang kami lakukan yaitu studi literatur

5. Sistematika penulisan

Sistematika penulsian yang kami lakukan terdiri dari :

Bab I. Pendahuluan meliputi Latar Belakang Masalah, Tujuan Penulis, Pembatasan masalah, Teknik pengumpulan data dan Sistematika penulisan

Bab II. Akal dan Hati Pada Zaman Modern terdiri dari Renaissance, Rasionalisme, Idealisme objektif, Idealisme theist, Empirisisme, Pragmatisme, Eksistensialisme

Bab III. Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran


BAB II

AKAL DAN HATI PADA ZAMAN MODERN

1. RENAISSANCE

Renaissance berarti “lahir kembali”. Pengertian rilnya adalah manusia mulai memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan “kembali” kepada semangat awali, yaitu semangat filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri.

Jaman ini lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat. Keluhuran dan kehebatan manusia tampak dalam ungkapan-ungkapan seni hasil karya manusia.

Politik tidak lagi dipikirkan dalam kaitannya dengan iman dan agama, tetapi dengan politik itu sendiri, sebab politik mempunyai etika dan moralnya sendiri. Etika politik adalah etika kekuasaan, artinya tunduk pada pertimbangan-pertimbangan kestabilan dan keselamatan negara, bangsa, pemerintahan dan kekuasaan.

Bila abad pertengahan memegang teguh konsep ilmu pengetahuan sebagai rangkaian argumentasi, jaman renaissance merombaknya dengan paham baru, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu adalah soal eksperimentasi. Pembuktian kebenaran bukan lagi pembuktian argumentatif, melainkan eksperimental-matematis-kalkulatif. Tokoh-tokohnya antara lai: Galileo Galilei, Hobbes, Newton, Bacon.

Boleh disimpulkan bahwa jaman renaissance adalah jaman pendobrakan manusia untuk setia dan konstan dengan jati dirinya. Jaman ini sekaligus menggulirkan semangat baru yang menghebohkan, terutama dalam hubungannya dengan karya seni, ilmu pengetahuan, sastra dan aneka kreativitas manusia yang lain. Di sini filsafat memegang fungsinya yang baru yaitu meletakkan dasar-dasar bangunan pengembangan aneka ilmu alam/ pasti yang merintis hadirnya tekhnologi-tekhnologi seperti yang kita nikmati sekarang ini.

2. RASIONALISME (Descartes-Spinoza-Leibniz)

Istilah rasionalisme di ambil dari kata dasar "ratio" (Latin) atau "ratiolism "(Inggris) yang berarti akal budi. Sedangkan rasionalisme berarti suatu pandangan filosofis yang menekankan penalaran atau refleksi sebagai dasar untuk mencari kebenaran.

Rene Descartes adalah tokoh yang pertama kali meletakkan dasar teori rasional dalam wacana filsafat Modern, terutama pada kesadaran budi (akal/rasio) sebagai upaya pencapaian kebenaran (antoposentris). Menurutnya, rasio menjadi sumber dan pangkal segala pengertian, sedangkan budi memegang pimpinan dalam segala pengertian.

Berpangkal pada sumber rasio, aliran ini berpangaruh besar terhadap perkembangan pemikiran tokoh-tokoh filsafat sesudahnya, diantaranya di Prancis Blaisc Pascal (1623-1662M), Baruch Spinoza di Netherland (1632- 1677M), dan Libnis (1646-1716) di Jerman. Walaupun corak pemikirannya berbeda menurut sudut pandang masing-masing, akan tetapi substansi teorinya yang digunakan sebagai landasan hipotesisnya tetap tunggal yakni rasio.

Tahap awal rasionalisme yang ditandai oleh empat tokoh besar di atas, lebih menfokuskan pada sikap mereka terhadap cara kerja apriori dan Aposteriori dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Baru pada abad Ke- 20-an cara kerja maupun dasar teoritis ilmu-ilmu di soroti lebih tajam dalam lingkup filsafat. Sebelumnya ilmu pengetahuan didekati dengan hukum dan aturan-aturan yang ketat dan harus dirumuskan dalam suatu teori dari hasil observasi. Dengan kata lain, mereka lebih memusatkan perhatiannya pada hubungan antara teori dengan keterangan observasi, tanpa memperhatikan asal mula dan pertumbuhan teori yang kompleks dalam kajian ilmiah.

Atas dasar ini, Imre Lakatos mencoba memberikan tawaran metode/teori alternatif di dalam usaha menggarahkan teori sebagai struktur dan program riset dan menentukan kriteria tentang rasionalitas.

3. IDEALISME OBJEKTIF (Ficthe-Sheilling-Hegel)

Di dalam filsafat, idialisme adalah doktrin yang mengajarkan dunia fisik hanya dapat difahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind), spirit (roh), istilah ini diambil dari “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan in ada Plato. Pada filsafat modern pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1753), yang menyatakan hakikat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan permulaan ini pada abad ke-18; menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus (Resse:243).

Idiealisme mempunyai argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung pada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme, mereka yang menggunakan argumen yang mengatakan bahwa “objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan” argumen orang-orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.

4. IDEALISME THEIST (Pascal –Kant)

Pada zaman modern ternyata masih ada “turunan langsung” Anselemus Dan Agustinus (filosof abad tengah), yaitu Pascal. Pemikirannya tentang tuhan dan manusia hampir merupakan fotokopi pemikiran Anselemus Dan Agustinus. Kan juga mengakui tuhan dalam filsafatnya. Tapi, Tuhan ia temukan dengan cara berbeda dari pascal

5. EMPIRISISME (Locke-Hume-Spencer)

Empirisisme adalah fahaman yang menganggap bahawa ilmu berpuncak dari pengalaman yang diperolehi melalui deria. Ilmu juga diberi pengwajaran atau justifikasi dengan merujuk kepada bukti dari pengalaman deria. Jadi, dari kedua-dua segi, yaitu dari segi sumber ilmu, dan juga dari segi menentukan kesahihan ilmu, pengalaman dari deria memainkan peranan yang penting di dalam fahaman empirisisme.

Tugas epistemologi golongan empirisis ialah untuk memberikan satu penjelasan tentang bagaimana ilmu, khususnya ilmu yang bercorak canggih dan menyeluruh, boleh terbit dari pengalaman yang diperoleh melalui deria. Tokoh empirisis ini pada abad ke 18 adalah John Locke dan David Hume

6. PRAGMATISME :William James (1842-1910)

Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekan¬kan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan Wil¬liam James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Dan aliran ini hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.

A. Asal Usul Pragmatisme

Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.

Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.

Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.

Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.

Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.

Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.

Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.

Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia.

Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.

Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.

Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).

Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan diuraikan lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin berikut.

7. EKSISTENSIALISME (Kierkegaard-Sartre)

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.

Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orangtua, atau keinginan sendiri.


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

v Jaman Renaissance lebih merupakan gerakan kebudayaan daripada aliran filsafat.

v Aliran Rasionalisme lebih menfokuskan pada sikap mereka terhadap cara kerja apriori dan Aposteriori dalam filsafat dan ilmu pengetahuan

v idialisme adalah doktrin yang mengajarkan dunia fisik hanya dapat difahami dalam kebergantungannya pada jiwa

v Pada zaman modern ternyata masih ada “turunan langsung” Anselemus Dan Agustinus (filosof abad tengah), yaitu Pascal

v Paham Empirisisme adalah fahaman yang menganggap bahawa ilmu berpuncak dari pengalaman yang diperolehi melalui deria

v Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya

v Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar

v Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat

B. SARAN

v Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku filsafat lainnya yang berkaitan dengan judul “Akal Dan Hati Pada Zaman Modern”

v Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami

v Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif

4 komentar:

Tarmizi Bener Meriah mengatakan...

terimakasih. saya copy ya!

Tarmizi Bener Meriah mengatakan...

saya copy ya sebagian. terima kasih

rahmannizem mengatakan...

mksih ya

Unknown mengatakan...

ijin copy