SELAMAT DATANG DI BLOG RIDWAN SAPUTRA....
09.29

SINTAKSIS

BAB 1

APAKAH SINTAKSIS?

1.1 Batasan Sintaksis

Sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan (speech). Unsur bahasa yang termasuk dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa dan kalimat. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonprediktif, misalnya rumah mewah. Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, yang sekurang-kurangnya memiliki sebuah predikat, dam berpotensi menjadi kalimat. Kalimat adalah satuan bahasa yang relatif berdiri sendiri, yang sekurang-kurangnya memiliki sebuah subjek dan predikat.

1.2 Aspek-Aspek Sintaksis

1.2.1 Kata: Ciri dan Klasifikasi

Kata dapat dilihat dari berbagai segi. Pertama,kata dilihat dari pemakai bahasa. Menurut pemakai bahasa salah satuan gramatikal yang diujarkan, bersifat berulang-ulang, dan secara potensial ujaran itu dapat berdiri sendiri. Kedua, kata dilihat secara bahasa. Secara linguistis kata dapat dibedakan atas satuan pembentuknya. Oleh karena itu, kata dapat dibedakan atas:

1) Kata sebagai satuan fonologis

Ciri fonologis kata bahasa Indonesia, misalnya:

1. mempunyai pola fonotatik suku kata,
2. bukan bahasa vokalik,
3. tidak ada gugus konsonan pada posisi akhir,
4. batas kata tidak ditentukan oleh fonem suprasegmental.

2) Kata sebagai satuan gramatikal

Menurut Lyons(1971) dan Dik (1976), secara gramatikal kata bebas bergerak, dapat dipindah-pindahkan letaknya, tetapi identitasnya tetap.

3) Kata sebagai satuan ortografis

Secara ortografis, kata ditentukanoleh sistem aksara yang berlaku dalam bahasa itu. Bahasa Indonesia misalnya menggunakan aksara latin jadi sebuah kata dituliskan terpisah dari kata lainnya, misalnya terima kasih dan kerja sama.

1.2.2 Frasa: Ciri dan Klasifikasi

Frasa dalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif (Rusyana dan Samsuri, 1976) atau satu kata konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih.

1.2.3 Klausa : Ciri dan Klasifikasi

Klausa dalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas subjek dan predikat.

Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi satuannya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan distribusi satuannya, klausa dibedakan atas klausa bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya, klausa dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan, dan klausa pemerlengkapan.

1.2.4 Kalimat: Ciri dan Klasifikasi

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi final (kalimat lisan), dan secara actual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dilihat dari fungsinya, unsur kalimat berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Menurut bentuknya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal dan perluasannya, serta kalimat majemuk.

1.3 Hubungan Sintagmatis dan Paradigmatis

1.3.1 Hubungan Sintagmatis

Hubungan sintagmatis adalah hubungan linier antara unsur bahasa yang satu dan unsur bahasa yang lain dalam tataran tertentu. Hubungan itu dapat diuji dengan permutasi atau perubahan urutan satuan unsur-unsur bahasa. Contoh:

1. Dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, saya bekerja keras.
2. Saya// bekerja keras// dengan penuh disiplin// dan tanggung jawab.

1.3.2 Hubunagn Paradigmatis

Hubungan paradigmatis adalah hubungan sistematis antarunsur bahasa yang memiliki kesesuaian.

1) Tataran Fonemis

Fonem /s/ pada kata sarang mempunyai hubungan paradigmatis dengan fonem yang dapat menggantikannya asalkan penggantian itu menghasilkan kata dalam kategori dan fungsi yang sama, misalnya fonem /s/, /b/, /p/, dan /k/ pada kata /s/arang, /b/arang, /p/arang, dan /k/arang karena kata-kata itu berkelas nomina dan sama-sama dapat mengisi fungsi subjek atau objek.

2) Tataran Morfologis

Pada umumnya, urutan morfem dalam sebuah kata tidak dapat diubah-ubah menurut keinginan seseorang, misalnya sebagai pembentuk kata kerja, awalan meng- dan di- selalu terletak pada awal kata, seperti pada menulis dan melancong serta ditempuh dan dijual.

3) Tataran Sintaksis

Ada kalanya kata di dalam sebuah kalimat dapat diubah-ubah letaknya tanpa mengubah arti. Yang berubah akaibat perubahan letak itu hanya pengutamaan informasi, sepaerti

1. Saya dan adik pergi kemarin
2. Kemarin saya dan adik pergi
3. Saya dan adik kemarin pergi

1.4 Kategori, Fungsi, dan Peran

Beberapa jenis kategori yang dapat menjadi unsur kalimat adalah nomina (kata benda), adjektiva(kata sifat), numeralia(kata bilangan), adverbial, dan kata tugas, seperti preposisi(kata depan), konjungsi(kata penghubung), dan partikel, seperti kah, lah, tah, pun.

Berdasarkan fungsinya, unsur-unsur kalimat ada yang disebut subjek, predikat, objek, pelengkap, serta keterangan.

Peran semantis yang lazim terdapat dalam suatu kalimat adalah pengalam atau penanggap (experiencer), pelaku (agent), pokok,cirri, sasaran, hasil, peruntung atau pemaslahatbeneficiary), ukuran(measure), alat(instrument), tempat(place), sumber(source), jangkauan(range), penyerta, waktu dan asal (Kridalaksana 1991; Alwi dkk.1998)

1.5 Kegramatikalan, Kebermaknaan, dan Keberterimaan

Kegramatikalan atau keapika gramatikal (grammatical wellformedness) adalah konsep yang mengacu pada satuan bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa yang meliputi beberapa tingkatan, yaitu menyangkut kegramatikalan bentuk kata, bentuk klausa, atau bentuk kalimat (cf. Lycons, 1981:101)

Kebermaknaan meliputi kebermaknaan kata, frasa, dan kalimat. Selanjutnya, suatu tuturan, mungkin dapat gramatikal dan bermakana, tetapi tuturan lain mungkin tak gramatikal dan tak bermakna Lycins, 1996:132) keberterimaan (acceptability) berkaitan denga sistem bahasa yang tepat atau keapikan semantis (semantic well-formedness). Sebaliknya, ketakberterimaan (unacceptability) berkaitan dengan sistem bahasa yang tidak tepat atau kerantakan semantis (semanticill-formedness) (Lycons, 1979:379)

1.6 Tafsir Ganda

Suatu ungkapan atau pernyataan kadang-kadang bisa ditafsirkan menjadi dua makna, bahkan bermacam-macam makna karena penyusunan ungkapan atau pernyataan tersebut kurang tertib. Misalnya, kalimat (1) Rumah sang jutawan aneh akan dijual menimbulkan tafsir ganda. Tafsir pertama rumahnya yang aneh dan tafsir kedua sang jutawannya yang aneh. Agar tidak menimbulkan tafsir ganda maka kalimat tersebut direvisi menjadi (1a) Rumah aneh milik sang jutawan aka dijual dan (1b) Rumah milik sang jutawan aneh akan dijual.

1.7 Parafrasa

Parafrasa berarti (1) pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah tingkatan atau macam bahasa menjadi yang lain dengan tidak mengubah arti; (2) penguraian kembali suatu teks (karangan dalam bentuk (susunan kata-kata) yang lain dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang tersembunyi. Contohnya:

a. 1.Ada beberapa kendala dalam penyelesaian BLBI.

2.Bantuan Likuiditas Banh Indonesia yang dibawa kabur oleh konglomerat ke Singapura dan Cina sulit diselesaikan karena banyak hambatan, antara lain, belum dimilikinya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Negara tersebut.

1.8 Permutasi

Permutasi adalah perubahan deretan atau urutan unsur-unsur kalimat.

Misalnya, kalimat pada hari Senin minggu depan Menteri Pembangunan Daerah Tertinngal akan mengumumkan jumlah desa tertinggal di Indonesia dapat dipermutasi menjadi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal akan mengumumkan jumlah desa tertinggal di Indonesia Senin minggu depan.

BAB 2

KLASIFIKASI FRASA

2.1 Pengantar

Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonprediktif (Rusyana dan samsuri 1976) atau satu konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih.

2.2 Frasa Eksosentris

Frasa eksosentris adalah frasa yang sebagian atau seluruhnya tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan semua komponennya, baik dengan sumbu maupun dengan preposisi.

2.2.1 Frasa Eksosentris Direktif (Frasa Preposisional)

Frasa preposisional pada umumnya berfungsi sebagai keterangan. Pada dasarnya, frasa preposisional menunjukkkan makna berikut:

1. tempat, seperti di pasar, ke rumah
2. asal arah, seperti dari kampong, dari sekolah
3. asal bahan, seperti cincin( dari emas)
4. tujuan arah, seperti ke Lampung, ke Kampus
5. menunjukkkan peralihan, seperti kepada saya
6. perihal, seperti tentang ekonomi
7. tujuan, seperti untukmu, buatmu
8. sebab, seperti karena, lantaran
9. penjadian, seperti oleh karena itu
10. kesertaan, seperti denganmu
11. cara, seperti dengan baik
12. alat, seperti dengan cangkul
13. keberlangsungan, seperti sejak kemarin
14. penyamaan, seperti selaras dengan
15. perbandingan, seperti seperti dia

2.2.2 Frasa Eksosentris Nondirektif

Frasa eksosentris nondirektif dapat dibedakan menjadi (a) frasa yang sebagian atau seluruhnya memiliki perilaku yang samadengan bagian-bagiannya, seperti si kancil, si terdakwa, para hakim’ (b)frasa yang seluruhnya berperilaku sama dengan salah satu unsurnya. Artinya, terdakwa dan kekasih memiliki perilaku sama dengan si terdakwa dan sang kekasih.

2.3 Frasa Endosentris

Frasa endosentris adalah frasa yang seluruhnya memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku salah satu komponennya.

2.3.1 Frasa Endosentris Berinduk Tunggal (Frasa Modifikasi)

Frasa endosentris berinduk tunggal terdiri atas induk yang menjadi penanda kategorinya dan modifikaror yang menjadi pemerinya.

1) Frasa nominal adalah frasa yang terdiri atas nomina (sebagai pusat) dan unsur lain yang berupa adjektiva, verba, numeralia, demonstrativa, pronominal, frasa preposisional, frasa dengan yang, konstruksi dengan yang…-nya, atau frasa lain.

Contoh:meja batu, teman separtai, hadiah untuk ibuku, hati yang luka, orang yang dicintainya, politisi yang ditinngal di Jakarta itu, anak manis, kulit kuning langsat, kolam yang jernih, nasi berbakul-bakul, uang itu, sang raja, anak mereka, banyak mahasiswa, dua buah rumah, batu bertulis, peristiwa yang amat penting yang terjadi kemarin.

2) Frasa Pronominal

Frasa pronominal adalah frasa yang terdiri atas gabungan pronominal dan pronominal atau gabungan pronimina dan adjektiva, adverbial, numeralia, dan demonstrativa.

Contoh: kami berdua, mereka itu, lagi-lagi saya, kamu dengan dia.

3) Frasa Verbal

Frasa verbal adalah frasa yang tediri atas gabungan verba dan verba atau gabungan verba dengan adverbial atau gabungan verba dan preposisi gabungan.

Contoh: pergi kerja, pulang pergi, makan dengan lahap, masuk ke dalam, jalan tanpa arah, coba baca buku, mati kartu, beristri dua, dapat diketahui, dating ke, masuk desa.

4) Frasa Adjektival

Frasa adjektival adalah frasa yang terdiri atas gabungan beberapa kata atau yang terdiri atas induk berkategori apa pun, asalkan seluruhnya berperilaku sebagai adjektiva.

Contohnya: sedikit masam, cantik benar, gagah berani, panas terik, kuat iman, masih belum pasti, agak nakal juga.

5) Frasa Numeral

Frasa numeral adalah frasa yang terdiri atas numeralia sebagai induk dan unsur perluasan lain yang mempunyai hubungan subordinatif dengan nomina penggolong bilangan, dan nomina ukuran.

Contoh: sembilan belas, dua lusin, dua atau tiga, cetakan pertama, ribuan penduduk.

2.3.2 Frasa Endosentris Berinduk Banyak

1) Frasa Koordinatif

Frasa kooordinatif adalah frasa endosentris berinduk banyak, yang secara potensial komponennya dapat dihubungkan dengan partikel.

Contoh: kaya atau miskin, untuk dan atas nama klien, baik merah maupun biru, entah suka entah tidak, makin tua makin bermutu.

2) Frasa Apositif

Frasa apositif adalah frasa endosentris berinduk banyak yang secara luar bahasa komponennya menunjuk pada maujud yang sama.

Contohnya:

Ria, anak kakakku yang tinggal di Lampung,

Megawati Soekarno Putri, salah satu mantan Presiden Republik Indonesia.

2.4 Frasa dan Kata Majemuk

Harimurti Kridalaksana (1985) mengemukakan bahwa:

1. kata majemuk harus berstatus kata; kata majemuk bukan frasa;

2. kata majemuk merupakan konsep sintaksis, bukan konsep semantic.

2.5 Kolokasi Kata

Kolokasi disebut juga sanding kata. Kolokasi dibedakan dengan idiom, kata majemuk, dan frasa karena sanding kata dilihat dari kemungkinan adanya beberapa kata dalam lingkungan yang sama atau perasosiasian yang tetap antara kata dan kata-kata tertentu (Kridalaksaan, 1982). Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur kata yang saling memilih atau konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya, misalnya panjang tangan berarti pencopet atu pencuri.

Secara garis besar kolokasi dalam bahasa Indonesia dibedakan diklasifikasi menjadi dua, yaitu:

1. Kolokasi kelompok I, yaitu kolokasi yang berkonstruksi [N+A], terbagi menjadi dua belas tipe, sebagai berikut:

1. Kolokasi tipe I A dibentuk oleh nomina yang berciri semantis +insani, +konkret, +terbilang, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantik +watak atau +perbuatan.

Contoh: anak cerdas, orag sabar, gadis lincah.

1. Kolokasi tipe I B dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, -konkret, +terbilang, -bernyawa, +waktu, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan.

Contoh: iklan penting, malam aman, hari panas.

1. Kolokasi tipe I C dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, -konkret, +terbilang, -bernyawa, +kelompok, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan.

Contoh: masyarakat sejahtera, negara makmur, tanah subur.

1. Kolokasi tipe I D dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, +konkret, +terbilang, -bernyawa, +bagian tubuh, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan.

Contoh: wajah bulat, hati lembut, gidung mancung.

1. Kolokasi tipe I E dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, -konkret, -terbilang, -bernyawa, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +kualitas.

Contoh: nasib buruk, cerita pendek, karya baru.

1. Kolokasi tipe I F dibentuk oleh nomina yang berciri semantis +insani, +konkret, +terbilang, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan diri.

Contoh: bapak gagah, pemuda ganteng, ibu anggun.

1. Kolokasi tipe I G dibentuk oleh nomina yang berciri semantis +insani, +konkret, +terbilang, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +usia.

Contoh: janda muda, orang tua, gadis manis.

1. Kolokasi tipe I H dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, +konkret, +terbilang, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +warna.

Contoh: angsa putih, kotak hijau, kertas kuning.

1. Kolokasi tipe I I dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, +konkret, +terbilang, -bernyawa, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +ukuran.

Contoh: barang berat, bangku panjang, sungai lebar.

1. Kolokasi tipe I J dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, +konkret, +terbilang, -bernyawa, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan.

Contoh: bibir sumbing, dada bidang, jari lentik.

1. Kolokasi tipe I K dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, -konkret, -terbilang, bernyawa, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +keadaan.

Contoh: awan mendung, cahaya redup, cuaca buruk.

1. Kolokasi tipe I L dibentuk oleh nomina yang berciri semantis -insani, +konkret, +terbilang, -bernyawa, sedangkan adjektiva mempunyai ciri semantis +lingkungan.

Contoh: pintu baru, jendela bekas, laut luas.

1. Kolokasi lelompok II memiliki konstruksi adjektiva ditambah nomina atau [A+N], yang pada dasarnya kolokasi tipe ini merupakan kebalikan dari kolokasi kelompok I.

Contoh: [A] + [N]

Hangat-hangat kuku

Kuning langsat

Merah darah

bab3

KLASIaFIKASI KLAUSA

3.1 Pengantar

Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat.

3.2 Klausa Berdasarkan Distribusi Satuan

Berdasarkan potensinya untuk dibentuk menjadi kalimat, klausa dapat dibagi menjadi klausa bebas dan klausa terikat.

3.3 Klausa Berdasarkan Fungsi

Berdasarkan fungsinya, klausa dapat menduduki fungsi subjek, objek, keterangan, dan pelengkap.

3.3.1 Subjek

Subjek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau frasa nominal yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara.

Contoh: Kami sekeluarga bulan lalu berlibur ke Bali.(kami sekeluarga merupakan subjek)

3.3.2 Objek

Objek adalah bagian klausa yang berwujud nomona atau frasa nomina yang melengkapi verba transitif. Objek dapat dibagi menjadi dua yaitu objek langsung dan objek tak langsung.

Contoh objek langsung: bibi sedang menanak nasi.

Contoh objek tak langsung : bibi sedang menanak nasi untuk kita semua.

3.3.3 Klausa Keterangan

Klausa keterangan adalah klausa yang menjadi bagian luar inti, yang berfungsi meluaskan atau membatasi makna subjek atau makna predikat.

Contoh:

1. keteranga akibat: penjahat itu dihukum mati
2. keterangan sebab: karena sakit, ia tidak jadi ikut
3. keterangan jimlah: bagai pinang dibelah dua
4. keterangan alat: dinaikkan dengan mesin pengangkat

3.3.4 Klausa Pelengkap

Klausa pelengkap adalah klausa yang terdiri atas nomina, frasa nomina, adjektiva, atau frasa adjektival yang merupakan bagian dari predikat verbal, seperti:

1. abangku menjadi pilot
2. kami bermain bola
3. aku dianggap patung

3.4 Klausa Berdasarkan Struktur

3.4.1 Klausa Verbal

Klausa verbal adalah lausa yang predikatnya verba.

Contoh: saya makan, adik mandi.

Klausa verbal terdiri atas klausa verbal aktif transitif dan klausa verbal aktif taktransitif.

Klausa verbal aktif transitif adalah klausa yang predikat verbalnya mempunyai sasaran dan atau mempunyai objek.Contoh:

Bibi menjual makanan, aku mengirimkan surat, dan lain-lain.

Klausa verbal aktif transitif resiprokal adalah klausa yang subjeknya melakukan pekerjaan yang disebutkan predikat verbalnya, tetapi secara berbalasan atau klausa yang subjeknya saling melakukan pekerjaan yang disebutkan predikat verbalnya. Contoh: Ia berpandangan dengan ibunya.

Klusa verbal pasif adalah klausa yang menunjukkan bahwa subjek dikenai pekerjaan atau sasaran perbuatan seperti yang disebutkan dalam predikat verbalnya.

Contoh: korban ditembak, kami kehujanan, dan lain-lain.

Klausa verbal aktif taktransitif adalah klausa yang predikat verbalnya tidak mempunyai sasaran dan tidak mempunyai onjek.

Contoh: kelakuannya menjadi-jadi, pengetahuan kita bertambah, dan lain-lain.

3.4.2 Klausa Nonverbal

Klausa nonverbal adalah klausa yang predikatnya berupa nomina, pronomina, adjektiva, numeralia, atau frasa preposisional.

Contoh: adik ke Bandung, ayahku nelayan, dia sedang sakit, dan lain-lain.

3.5 Hubungan Antarklausa

3.5.1 Hubungan Antarklausa yang Koordinatif

Hubungan koordinatif menunjukkan hubungan yang setara.

3.5.1.1 Hubungan Aditif (jumlah)

Hubungan jumlah ditunjukkan oleh klausa kedua berisikan informasi yang menambahkan isi informasi pada klausa pertama.

Contoh:

1. Saya mencintai dan memahami pekerjaan saya selam ini.
2. Saya bersama beberapa orang teman ingin mendirikan perpustakaan.

3.5.1.2 Hubungan Adversatif (pertentangan)

Hubungan pertentangan biasanya ditunjukkan oleh klausa kedua yang berisikan informasi yang bertentangan dengan isi informasi pada klausa pertama.

Contoh:

1. Hubungan pertentangan yang menyatakan penguatan

Contoh: Ia tidak hanya rajin dan pandai, tetapi juga teliti dan rendah hati.

1. Hubungan pertetangan yang menyatakan implikasi

Contoh: Aku sudah lama berdagang, tetapi belum juga punya uang banyak.

1. Hubungan pertentangan yang menyatakan perluasan

Contoh: Budaya daerah harus dijaga, tetapi budaya luar baik jangan ditolak.

3.5.1.3 Hubungan Alternatif (pilihan)

Hubungan pilihan adalah hubungan yang menyatakan pilihan diantara berbagai kemungkinan yang ada yang ditunjukkan oleh klausa yang dihubungkan itu.

1) Hubungan pilihan yang menyatakan pertentangan

Aku harus bersekolah dengan sengsara atau berhenti, lalu mencari uang.

2) Hubungan pilihan yang tidak menyatakan pertentangan

Dia duduk merenungkan masa lalu ataukah sedang merancang masa depan?

3.5.2 Hubungan Antarklausa Subordinatif

Hubungan antarklausa subordinatif menunjukkan hubungan yang hierarkis.

3.5.2.1 Hubungan Sebab

Kata hubung yang digunakan adalah sebab, karena, dan oleh karena.

Contoh:

a. Mereka berkelahi karena salah paham

b. Saya tidak tahu apa sebab dia tidak mau datang ke pertemuan itu.

3.5.2.2 Hubungan Akibat

Kata hubung yang digunakan adalah akibat, akibatnya, dan hasilnya.

Contoh: Kebakaran itu terjadi akibat kelalaian petugas pada bagian mesin.

3.5.2.3 Hubungan Tujuan

Kata hubung yang digunakan adalah untuk, demi, agar, supaya, dan biar.

Contoh: Saya bekerja keras demi membesarkan anak-anak saya.

3.5.2.4 Hubungan Syarat

Kata hubung yang digunakan adalah jika, kalau, jikalau, dan asalkan.

Contoh: Saya mau datang ke pertemuan penting itu jika anda datang juga.

3.5.2.5 Hubungan Waktu

1) Waktu Batas Permulaan

Ditandai dengan kata hubung sejak atau sedari.

Contoh: Kami terbiasa hidup sederhana sedari kami masih baru saja menikah.

2) Waktu Bersamaan

Ditandai dengan kata hubung ketika, pada waktu, (se)waktu, seraya, serta, sambil, semantara, selagi, selam, dan tatkala.

Contoh: Mereka datang ketika kami sedang duduk-duduk di teras rumah sore hari.

3) Waktu Berurutan

Ditandai dengan kata hubung sebelum, sehabis, setelah, sesudah, seusai, dan begitu.

Contoh: Sesudah pulang sekolah, dia membantu orang tuanya bekerja di ladang.

4) Waktu Batas Permulaan

Ditandai dengan kata hubung sampai dan kepada.

Contoh: Aku harus belajar dan berjuang keras sampai cita-citaku tercapai.

3.5.2.6 Hubungan Kosesif

Ditandai dengan kata hubung sungguh (pun), sekalipun, dan kendati (pun).

Contoh: Dia rela anaknya pergi belajar walaupun harus jauh dari kampung halaman.

3.5.2.7 Hubungan Cara

Ditandai dengan kata hubung dengan atau tanpa.

Contoh:

Petinju itu menang dengan cara mengelakkan setiap pukulan yang datang.

3.5.2.8 Hubungan Kenyataan

Klausa subordinatif pada hubungan kenyataan atau hubungan komplementatif bertugas melengkapi verba atau melengkapi nomina subjek.

Contoh: Sekarang aku baru tahu (bahwa) anak itu ternyata sangat rajin.

3.5.2.9 Hubungan Alat

Ditandai dengan kata hubung dengan, tidak dengan, memakai, dan menggunakan.

Contoh: Petani membalik tanah dengan cangkul.

3.5.2.10 Hubungan Perbandingan

3.5.2.10a Hubungan Ekuatif

Hubungan ekuatif mempersyaratkan persamaan taraf antara klausa utama dan klausa subordinatif. Bentuk persamaan yang digunakan adalah sama + adjektiva +dengan atau se-+adjektiva, seperti:

Sekarang penghasilan anak-anakku sama banyak dengan penghasilanku.

3.5.2.10b Hubungan Komparatif

Hubungan komparatif mempersyaratkan perbedaan taraf antara klausa utama dan klausa subordinatif. Bentuk persamaan yang digunakan adalah lebih/kurang +dari atau lebih/kurang + adjektiva +daripada, seperti:

Pesta itu telah menghabiskan biaya lebih dari/kurang dari Rp 50.000.000,00

3.5.2.11 Hubungan Hasil

Ditandai dengan kata hubung sampai, sampai-sampai, sehingga, dan maka.

Contoh: Semburan Lumpur panas itu makin lama makin besar sehingga kami hampir tidak mampu lagi mengatasinya.

3.5.2.12 Hubungan Atributif

Ditandai dengan kata hubung subordinatif yang.

1) Hubungan Atributif Restriktif

Hubungan seperti ini mewatasi makna nomina yang diterangkannya. Akibatnya, keterangan pewatas itu menjadi bagian integral dari nomina yang diterangkannya.

Contoh: Istrinya yang tinggal di Bogor berjualan telur.

2) Hubungan Atributif Takrestriktif

Klausa relatif pada hubungan atributif takrestriktif hanya memberikan tambahan informasi pada nomina yang diterangkannya.

Contoh: Istrinya, yang tinggal di Bogor, berjualan telur.

3.5.2.13 Hubungan Andaian

Klausa subordinatif pada hubungan pengandaian berisikan andaian atas sesuatu yang terdapat pada klausa utama.

1) Andaian yang tidak mungkin terjadi

Andaian jenis ini menggunakan kata penghubung andaikata dan andaikan.

Contoh: Andaikata saya merpati, tentu sudah aku terbangi laut yang luas itu.

2) Andaian yang mungkin terjadi

Andaian jenis ini menggunakan kata penghubung jika, kalau, ikalau, apabila, dan bilamana.

Contoh:Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.

3) Andaian yang menggambarka kekhawatiran

Andaian jenis ini menggunakan kata penghubung jangan-jangan.

Contoh: Mengapa ayah diam saja sejak tadi? Jangan-jangan ayah marah kepada kita.

4) Andaian yang berhubungan dengan ketidakpastian

Andaian jenis ini menggunakan kata penghubung kalau-kalau.

Contoh: Kita berdoa sajalah, kalau-kalau ia juga datang pada hari ini.

3.5.2.14 Hubungn Optatif (Berharap)

Kata hubung yang digunakan adalah agar, semoga, moga-moga, dan mudah-mudahan.

Contoh: Kami memohon semoga bapak mau memaafkannya.

BAB 4

KLASIFIKASI KALIMAT

4.1 Apakah Kalimat?

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai intonasi final (kalimat lisan), dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa.

4.2 Strategi Pengenalan Kalimat

Kalimat dasar adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok. Jadi kalimat dasar adalah kalimat yang belum mengalami perluasan.

4.3 Fungsi Sunjek, Predikat, Objek, dan Fungsi Lain

Untuk mengetahui subjek sebuah kalimat, kita dapat mengajukan pertanyaan dengan menggunakan unsur predikat sebagai tumpuan. Misal, apa yang……..? atau siapa yang…….?

4.4 Kalimat Menurut Bentuk

4.4.1 Kalimat Tunggal

Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu subjek dan satu predikat, Semua kalimat dasar adalah kalimat tunggal. Kalimat tunggal sapat diperoleh dari beberapa segi.

a) Kalimat tunggal adalah kalimat murni

Contoh: Rupiah menguat.

b) Kalimat tunggal adalah kalimat dasar yang diperluas dengan berbagai keterangan.

Contoh: Wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.

c) Kalimat tunggal adalah kalimat dasar yang berubah susunannya.

Contoh: Berdiri aku di senja senyap.

Dalam Bahasa Indonesia terdapat enam pola kalimat:

1) Subjek (KB) + Predikat (KK) : pakar politik berdiskusi

2) Subjek (KB) + Predikat (KK) +Objek (KB) : Mahasiswa mengikuti ujian

3) Subjek (KB) + Predikat (KK) +Objek (KB) +Objek (KB) :D osen membawakan saya buku Biologi

4) Subjek (KB) + Predikat (KS) : Harga kertas mahal

5) Subjek (KB) + Predikat (K.Bil) : Komputernya dua buah

6) Subjek (KB) + Predikat (KB) : Temanku guru SMU 1

Untuk menciptakan beragam kalimat tunggal, enam pola kalimat dasar di atas dapat diperluas atau dipermutasikan unsur-unsurnya.

Pola 1 adalah pola kalimat yang hanya mengandung unsur subjek nomina dan unsur predikat verba.

Contoh: Kami berjuang.

Pola 2 adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan berpredikat verba, dan berobjek nomina.

Contoh: Kami mencairkan dana.

Pola 3 adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan berpredikat verba, dan berobjek kedua nomina.

Contoh: Surat kabar memberikan saya kepintaran.

Pola 4 adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan berpredikat adjektiva.

Contoh: Suku bunga bank sangat tinngi.

Pola 5 adalah pola kalimat yang bersubjekkan nomina dan berpredikat numeralia.

Contoh: Panjang mobil itu empat meter.

4.4.2 Perluasan Kalimat Tunggal

Keenam pola kalimat dasar itu dapat diperluas dengan unsure keterangan.

1. Ketarangan tempat, seperti di sini, dalam ruangan, sekitar kota;
2. Keterangan waktu, seperti tiap tahun, ninggu ketiga;
3. Keterangan alat, seperti dengan pensil, dengan keris;
4. Keteranga cara, seperti dengan berhati-hati, dan berbagai jenis keteranga lainnya.

4.4.3 Kalimat Majemuk

4.4.3.1 Kalimat Majemuk Setara

Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang terdiri atas dua kalimat tunggal atau lebih yang digabungkan dengan kata hubung yang menunjukkan kesetaraan, seperti dan, atau, sedangkan, dan tetapi.

4.4.3.2 Kalimat Majemuk Bertingkat (taksetara)

Kalimat majemuk taksetara terdiri atas unsur anak kalimat dan induk kalimat.

Contoh: Saya akan sulit sampai di kantor jika pagi-pagi sekali hari sudah hujan.

4.4.3.3 Kalimat majemuk taksetara Rapatan

Kalimat majemuk taksetara atau kalinat majemuk bertingkat dapat juga dirapatkan jika terdapat unsure subjek yang sama.

Contoh: Mereka sudah menyelesaikan tugas

Mereka boleh mengambil tanda terima

Dapat dirapatkan menjadi Karena mereka sudah menyelesaikan tugas, mereka boleh mengambil tanda terima.

4.4.3.4 Penghilangan Kata Penghubung pada Kalimat Majemuk

Contoh: Dibandingkan dengan pendapatan pegawai negeri, pendapatan pegawai swasta jauh lebih besar. (salah)

Jika dibandingkan dengan pendapatan pegawai negeri, pendapatan pegawai swasta jauh lebih besar.(benar)

4.4.3.3 Kalimat Majemuk Campuran

Terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.

Contoh: Karena pembicaraan mengenai pemecahan atom belum rampung, kami terpaksa bekerja sampai malam dan melakukan pembagian kerja dengan lebih baik lagi.

4.4.4 Jenis Kalimat menurut Bentuk dan Gaya

a. Kalimat yang Melepas

Jika kalimat majemuk diawali oleh unsure utama, lalu diikuti oleh unsur tambahan (induk kalimat diikuti anak kalimat), gaya penyajian tersebut disebut gaya penyajian melepas.

Contoh: Kemunduran perekonomian kita harus diatasi sebelum masyarakat menderita kelaparan total.

b. Kalimat yang Berklimaks

Jika kalimat majemuk diawali anak kalimat dan didikuti induk kalimat, gaya penyajian tersebut disebut gaya penyajian berklimaks.

Contoh: Karena penjarah berbaju hitam, petugas keamanan tidak dapat mengenali para penjarah tersebut.

c. Kalimat yang Berimbang

Jika kalmiat disusun dalam bebtuk kalimat mejemuk campuran.

Contoh: Stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan leluasa, dan masyarakat dapat beribadah dengan tenang.

4.5 Kalimat menurut Fungsi

a. Kalimat Pertanyaan (deklaratif)

Dipakai jika penutur ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap ketika ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan bicaranya.

Contoh: Tidak semua nasabah bank memperoleh kredit lunak.

b. Kalimat Pertanyaan (Interogatif)

Dipakai jika penutur ingin memperoleh informasi atau reaksi yang diharapkan.

Contoh: Di mana mereka melakukan latihan?

c. Kalimat Perintah atau Permintaan (Imperatif)

Dipakai jika penutur ingin menyuruh atau melarang orang melakukan perbuatan.

Contoh: Dilarang merokok di ruangan ini!

e.Kalimat Seruan

Dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan yang kuat atau yang mendadak.

Contoh: Bukan main sulitnya soal ini.

4.6 Kalimat Efektif

Adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada pemikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran penulis.

Contoh: Kejaksaan Agung akan menayangkan wajah para koruptor yang menjadi buronan di televisi.

Kalimat tersebut tidak efektif karena yang dimaksudkan adalah menayangkan di televisi wajah koruptor yang menjadi buronan.

4.6.1 Kesepadanan Struktur

Yang dimaksudkan kesepadanan struktur adalah kesepadanan antara pikiran dan struktur bahasa yang digunakan.

1. Hadirnya subjek dan predikat

Contoh: Bagi mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah pada akhir bulan September. (salah)

Mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah pada akhir bulan September.(benar)

1. Tidak Hadirnta Subjek ganda

Contoh: Patung Dewi Sri terletak lemari kaca. (salah)

Patung Dewi Sri terletak di dalam lemari kaca.

1. Tidak Hadirnya Kata Penghubung Intrakalimat pada Kalima Tunggal

Kata penghubung intrakalimat yang dimaksudkan adalah sedangkan dan sehingga.

Contoh: Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama. (salah)

Kami datang agak terlambat sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama.(benar)

1. Tidak Hadirnya Kata yang di Depan Predikat

Contoh: Bahasa Indonesia yanf berasal dari bahasa Melayu.(salah)

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.

4.6.2 Keparalelan Bentuk

Yang dimaksud adalah kesejajaran atau kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu. Kalau bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan seterusnya juga harus menggunakan nomona.

Contoh: Kebobrokan perusahaan itu tersembunyi dengan rapat dan penutupannya dengan sangat cermat. (salah)

Kebobrokan perusahaan itu tersembunyi dengan rapat dan tertutup dengan cermat.

4.6.3 Ketegasan Makna

Ketegasan makna kalimat ditentukan oleh beberapa unsur.

Contoh: Harapan Presiden ialah agar kita semua membangun bangsa dan negara ini dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Unsur yang ditegaskan dalam kalimat itu aslah harapan Presiden.

4.6.4 Kehematan Kata

Yang dimaksud dengan penghematan kata adalah hemat dalam menggunakan kata, frasa, atau bentuk lain dan tidak menggunakan apa pun yang dianggap tidak perlu.

1. Penghilangan Subjek yang Sama pada Anak Kalimat

Contoh: karena dia tidak diundang, dia tidak dating ke pesta itu.(salah)

Karena tidak diundang, dia tidak dating ke pesta perpisahan itu.

1. Penghindaran Pemakaian Superordinat pada Hiponimi

Contoh: Ia memakai baju warna merah muda. (salah)

Ia memakai baju merah muda. (benar)

1. Penghindaran Pemakaian Sinonim pada Satu Kalimat

Ontoh: Anda dipersilakan naik ke atas untuk beristirahat.(salah)

Anda dipersilakan naik untuk beristirahat.(benar)

BAB 5

SYARAT-SYARAT PARAGRAF

5.1 Definisi Paragraf

Sebuah paragraph harus memiliki sebuah gagasan utama. Gagasan utama adalah gagasan dasar tentang sesuatu, yang menjadi tumpuan berpikir bagi penulis untuk memunculkan gagasan berikutnya.

Sebuah paragraf harus merupakan satu gagasan yang utuh, artinya jika dilepaskan dari teks, sebuah paragraf sudah memiliki satu gagasan yang utuh dan jelas. Paragraf yang disusun dengan runtut (kohesif) ditandai oleh berpautnya kalimat yang satu dengan kalimat yang lain yamg ada di dalamnya. Paragraf yang disusun dengan padu (koherensif) ditandai oleh berpadunya gagasan yang tedapat dalam setiap kalimat yang membangunnya.

5.2 Keruntutan Paragraf

Keruntutan paragraf ditampilkan melalui hubungan formalitas (hubungan secara bahasa) diantara kalimat yang membentuk paragraf. Untuk itu, diperlukan alat penghubung antarkalimatagar keterpautan itu terlihat jelas.

1. Penanda hubungan antarkalimat

Berfungsi memadukan hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain dalam sebuah paragraf. Terdapat lima penanda hubunhan antar kalimat , yaitu teknik pengacuan(reference), hubungan pelesapan (ellipsis), penggantian(substitution), perangkaian(conjunction), dan hubungan leksikal(lexical cohesion)

1. Hubungan dengan Teknik Pengacuan

1) Hubungan Ensoforis

Dapat dibedakan menjadi hubungan anaforis dan hubungan kataforis.

(a) Hubungan Pengacuan dengan itu

Pengangkatan anak wajib dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal sah pemohon. Penetapan itu…..

(b) Hubungan Pengacuan dengan begitu

Unit Konteks kalimat dinilai dengan UKBI yang terbatas. Begitu pula halnya dengan penilaian unit kerja lapangan.

(c) Hubungan Pengacuan dengan begitu itu

Hasil yang optimum itu memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama serta ketelitian yan tinggi. Hasil yang begitu (bagus) itu………

(d) Hubungan Pengacuan dengan demikian itu

Analisis kompetensi yang komprehensif merupakan langkah utama untuk menyusun standar kompetensi kerja yang dibutuhkan si bidang tertentu. Analisis yang demikian itu…………..

(e) Hubungan Pengacuan dengan seperti itu

Telah dinyatakan berulang-ulang bahwa hasil yang optimum memerlukan proses yang panjang. Hasil yang seperti itu………

(f) Hubungan Pengacuan dengan tersebut

Setiap orang dilarang membunuh gajah, kura-kura, dan burung. Kalau ada yang melanggar laranga tersebut, pelanggar dapat dihukum.

(g) Hubungan Pengacuan dengan tersebut itu

Untuk menjaga kelestarian hidup gajah dan kura-kuara hijau, setip orang dilarang membunuh gajah dan kura-kura tersebut itu.

(h) Hubungan Pengacuan dengan –nya

Untuk menjaga kelestarian gajah, setiap orang dilarang membunuhnya.

b) Hubungan Eksoforis

Hubungan eksoforis dapat disebut juga hubungan luar bahasa.

Contoh: Hafid melihat ada makanan di atas meja makan, lalu ia bertanya, “Makanan siapa ini? Boleh saya makan , Bu?”

2) Hubungan Penggantian

Ria dan Eka kemarin siang bersama-sama pulang ke Bogor. Mereka berdua naik kereta api.

3) Hubungan Pelesapan

Ditandai oleh lesapnya unsur kalimat karena tidak dinyatakan secara tesurat atau tidak diucapkan pada kalimat berikutnya.

“Sudah dua hari saya sakit dan sudah dua hari pula (saya) tidak masuk kerja. Sementara itu, bahan makanan di rumah sudah tidak ada lagi. Saya tidak tahu entah dari mana (saya) akan dapat makan.

4) Hubungan Kata Perangkai

Siti Hawa selalu dipercaya sebagai manusia kedua karena ia diciptakan setelah Tuhan menciptakan adam. Bahkan, Siti Hawa (ia) diciptakan dari tulang rusuk manusia pertama itu.

5) Hubungan dengan Penanda Leksikal

Contoh: Setiap warga negara garus mematuhi perundang-undangan yang berlaku di negeri ini, termasuk mamatuhi Undang-Undang Lalu Lintas di Jalan Raya.

6) Pengulangan

Misalnya: Ketentuan untuk menggunakan baju seragam putih-putih pada hari Senin hanya berlaku bagi anak-anak sekolah dasar di Kecamatan Ciluer. Anak-anak itu harus segera diberi tahu mengenai ketentuan itu agar mereka bias menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan anak itu.

(b) Penominalan

(a) Sebelum memangku jabatannya, setiap calon terpilih harus mengucapkan sumpah dan janji setia. (b) Pengucapan sumpah dan janji setia tersebut…….

(c) Penggunaan kata hubung intrakalimat

Contoh: Jika terjadi kematian warga Negara, instansi yang ditunjuk wajib mencatat kematian warga Negara itu.

(d) Penggunaan ungkapan penghubung antarkalimat

Contoh: Catatan peristiwa itu amat penting untuk penyelidikan. Untuk itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan yang tinngi dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Contoh ungkapan penghubung antarkalimat:

1. Hubungan sebab akibat: oleh karena itu, dengan demikian, jadi, akibatnya.
2. Hubungan pertentangan: sebaliknya, akan tetapi, namun, padahal, meskipun demikian dsb;
3. Hubungan syarat: kalu begitu, kalau demikian, jika begitu dsb;
4. Hubungan penjumlahan: lagi pula, lain dari itu, di samping itu, dsb;
5. Hubungan urutan waktu: kemudian, setelah itu, lalu, dsb;
6. Hubungan cara: dengan demikian, dengan itu, dsb;
7. Hubungan lebih: bahkan, malah, lebih-lebih, dsb;
8. Hubungan pertalian untuk menandai manfaat: untuk itu;
9. Hubungan perangkaian: akhirnya, dengan kata lain, berkaitan dengan itu, dsb.

5.3 Simpulan

Paragraf dapat dikenali lewat ciri sebagai berikut:

1. Kalimat yang terdapat di dalam sebuah paragraf dapat berurutan atas kalimat tunggal, kalimat koordinatif, dan kalimat subordinatif, atu sebaliknya.
2. Pada umumnya, paragraf memiliki kalimat tema, yang biasanya diletakkan pada bagian awal, tengah, atau akhir paragraf.
3. Kalimat yang diletakkan pada bagian awal, tengah, atau akhir paragraf biasanya merupakan perincian lebih lanjut atau penjelasan atas tema.
4. Paragraf juga dapat memiliki bagian pengantar.

BAB 6

SATUAN-SATUAN DALAM WACANA

6.1 Pendahuluan

Banyak orang menduga bahwa satuan bahasa yang terlengkap adalah kalimat. Dugaan itu salah sebab sebuah kalimat bagaimanapun bentuknya pasti menjadi bagian dari sebuah wacana, baik wacana lisan maupun wacana tertulis.

6.2 Aspek-Aspek Wacana

6.2.1 Aspek Semantis

a. Hubungan semantis antarbagian wacana

ditandai oleh hubungan antara proposisi dan proposisi bagian-bagian wacana itu.

a.1 Hubungan sebab atau hubungan alasan

Contoh: Musim kemarau tahun ini amat panjang, Di mana-mana terjadi kekeringan, petani mengeluh tak ad air, Musim tanam terlambat, dsb.

a.2 Hubungan sarana-tujuan

b. Hubungan latar belakang semantis wacana

b.1 Kesatuan topik

Contoh: “ Dijual. Butuh uang tunai segera. Sebuah rumah tua, luas tanah 1.500 meter persegi dan luas bangunan 200 meter persegi. Peminat yang serius harap menghubungi kami. Kami tidak mempunyai waktu untuk melayani perantara.

b.2 Hubungan di antara peserta tuturan

Contoh: Ketika telepon berdering, seorang ibu berkata kepada anaknya:

Ibu : Ada telepon untuk kamu, Na.

Anna : Ma, tolong terima sebentar. Aku lagi mandi.

6.2.2 Aspek gramatikal

1. Konjungsi

Di dalam bahasa Indonasia, konjungsi dapat bertugas menyambungkan frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat.

1. Elipsis (pelesapan)

Biasanya apa yang dilesapkan di dalam salah satu bagian merupakan ulangan dari bagian yang lain.

Contoh: Di mukamu ada sebuah rongga

(di mukamu) ada giginya ada lidahnya

Lewat rongga itu semua bias

Kumasukkan ke dalam perutmu

1. Paralelisme

Paralelisme atau kesejajaran bentuk dalam wacana mengikuti pola di antara bagian di dalam wacana itu.

Contoh: “ Berhadapan dengan struktur teks sajak kadang-kadang seperti berhadapan dengan ayat-ayat atau yanda-tanda kebesaran Tuhan. Pendek kata kita membaca alam.”

1. Penggantian (substitusi)

Dapat bersifat anaforis atau pun kataforis.

d.1 Penggantian Anaforis

Penggantian anaforis selalu menggunakan pronominal persona ketiga, seperti:

Kami pergi berjalan-jalan ke kota bersama sebagian penduduk desa kami. Mereka banyak yang memang sama sekali belum pernah melihat keramaian kota. Oleh karena itu, mereka tampak sangat gembira.

d.2 Penggantian Kataforis

Pronomina persona-nya dapat juga digunakan untuk penggantian kataforis, seperti:

Dengan kecerdasan yang luar biasa serta dilengkapi dengan kecermatan dan ketelitiannya yang tinggi, saya yakin kelak Ahmad dapat menjadi seorang peneliti ulung yang berhasil.

6.3 Satuan Satuan di Dalam Wacana

Satuan terbesar di dalam wacana bukan kalimat, melainkan paragraf. Jika dilepaskan dari sebuah wacana, paragraf sudah merupakan suatu kesatuan informasi yang lengkap, utuh, dan selesai.

BAB 7

TEORI DAN PEMIKIRAN LINGUISTIK YANG BERKEMBANG DI INDONESIA

7.1 Pengantar

Pada dasarnya, jika dilihat dari segi teknik analisis suatu kalimat, ada dua macam teori linguistik yang pernah berkembang di Indonesia, secara garis besarnya, yaitu teori linguistik tradisional dan teori linguistik modern. Perbedaan yang mendasar di antara kedua teori tersebut terletak pada titik tolak memandang, cara menganalisis, dan cara mengajarkan bahasa. Teori linguistik tradisional memulai analisis bahasa dengan kata dan bentuk kata, kemudian sampai pada struktur kalimat. Teori linguistik tradisional berangggapan bahwa semua bahasa di dunia ini memiliki struktur kalimat yang sama. Teori linguistik modern memulai analisis bahasa dari kalimat, kemudian beralih ke unsur yang lebih kecil, yaitu klausa, frasa, kata, morfem, dan fonem yang mendasari struktur kalimat tersebut (disebut teori linguistik struktural).

Ciri menonjol dari teori linguistik modern atau teori linguistik struktural adalah (1) pandangan tentang pentingnya hubungan antarunsur bahasa lebih daripada unsur-unsur itu sendiri, (2) satu-satunya objek linguistik yang benar adalah sistem bahasa (langue), dan (3) penelitian bahasa dapat dilakukan secara diakronis ataupun sikronis (Kridalaksana, 1991:7)

7.2 Teori Linguistik yang Berkembang di Indonesia

7.2.1 Teori Linguistik Tradisional

Perintis linguistik pada masa Yunani Kuno, Plato (436-33 SM), telah memberikan prinsip-prinsip dasar linguistik kemudian, perintis linguistik berikutnya, Socrates (469-39 SM), melanjutkan ide-ide Plato dan Socrates yang berpandangan tentang bahasa.

Perintis lai pada masa Yunani Kuno adalah aristoteles (384-322 SM), yang banyak menulis buku tentang logika dan linguistik. Aristoteles dianggap sebagai orang yang memperkenalkan kategori kata (distinct parts of speech). Pemikiran para perintis linguistik itu hingga sekarang diyakini kebenarannya oleh para linguis di Indonesia. (cf. Hani’ah dkk.2006)

Linguis yang tergolong kelompok ini m,isalnya Plato, Socrates, Aristoteles, Panini. Linguis Indonesia yang menggunakan teori tradisional dalam analisis penelitian mereka seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan J.S. Badudu.

7.2.2 Teori Linguistik Transformasi Generatif

Teori sintaksis struktural dimulai dengan diterbitkannya buku Language oleh Leonard Bloemfield pada tahun 1933. Pengikut Bloemfield yang brilian adalah Noam Chomsky. Ia melahirkan suatun teori yang disebut teori linguistik transformasi generatif. Pada tahun 1957 Chomsky menerbitkan buku yang berasal dari disertasinya yang berjudul Syntactic Structure. Tahun 1957 itulah dianggap tonggak awal berkembangnya aliran baru dalam linguistik. Dalam teori linguistik transformasi generatif terdapat struktur dalam (deep structure) dalam pikiran manusia dan strukrur luar (surface structure) dalam wujud bahasa.

Ciri linguistik transformasional, antara lain:

a. bersifat rasionalistis, dan antibehaviorisme;

b. bertujuan menemukan apa yang semesta dan teratur dalam memahami dan menghasilkan kalimat yang gramatikal;

c. memakai konsep-konsep competence dan performance;

d. membedakan struktur lahir dan struktur batin..

Tokoh-tokoh teori linguistik transformasi generatif adalah A.N. Chomsky, J.McCawley, dan G. Lakoff (Kridalaksana, 1991:16)

7.2.3 Teori Linguistik Stratifikasi

Teori linguistik stratifikasi dilontarkan dan dikembangkan oleh Sidney Lamb dari Universitas California. Menerbitkan buku pengantar tatabahasa stratifikasi yang berjudul Outline of Stratificational Grammar tatabahasa stratifikasi mengambil nama dari aneka ragam strata ‘lapisan’ yang terdapat dalam suatu bahasa.

Ciri teori linguistik stratifikasi:

1. bahasa dipandang sebagai sistem hubungan-hubungan dan bukan sistem unsur-unsur;
2. bahasa dianggap sebagai sistem statis, jadi menentang konsep-konsep yang menggambarkan proses;
3. bahasa dianggap sebagai sistem jaringan dan kaidah-kaidah realisasi yang menghubungkan bagian-bagian struktur yang disebut strata; ada strata leksem, strata morfem, ada strata fonem.

Tokoh dari linguistik stratifikasi adalah S. Lamb, H.A.Gleason, D.G.Lookwood, dan A. Makkai (Kridalaksana, 1991:15)

7.2.4 Teori Linguistik Tagmemik

Ciri-ciri teori linguistik tagmemik:

1. bersifat fungsionalitas;
2. membedakan satuan etik dan satuan emik;
3. analisis gramatika tidak hanya terbatas pada kalimat, tetapi sampai ke wacana;
4. satuan dasar berupa tagmen.

Tokoh teori linguistik tagmemik adalah K.L. Pike, Evelyn Pike, R. Longacre, dan lain-lain (Kridalaksana, 1991:13)

7.2.5 Teori Linguistik Kasus

Ciri-ciri teori linguistik kasus:

1. bersifat generatif;
2. mendapat pengaruh dari Pike;
3. dalam semantik dianggap bahwa nomina berhubungan dengan verba dalam struktur batin berupa berbagai kasus, seperti kasus pelaku, penderita, penerima, dan sebagainya.

Tokoh teori linguistik kasus adalah W. Chafe. Libguis Indonesia yang pernah menerapkan teori ini dalam penelitian linguistik adalah D.P. Tampubolon dan Soenjono Dardjowidjojo (Kridalaksana, 1991:16-17;34)

7.2.6 Teori Linguistik Fungsional

Ciri-ciri teori linguistik fungsional:

1. teori ini memberi tempat kepada tiga lapisan fungsi, yakni fungsi semantik, fungsi sintaktis, dan fungsi pragmatis;
2. tidak mengenal transformasi, filter, dekomposisi leksikal;
3. deskripsi ungkapan bahasa dimulai dengan pembebtukan predikasi dasar yang dilakukan dengan penyisipan ungkapan ke dalam kerangka predikat;
4. pengungkapan bahasa berjalan dari semantik ke sintaksis terus ke pragmatik dan berakhir pada apa yang disebutnya expression rules.

Teori linguistik fungsional dipelopori oleh Selain oleh simon Dik, juga danes, Halliday, A. Martinet, dan Susumu Kuno (Kridalaksana, 1991:18, 28, dan 35)

7.2.7 Beberapa Pemikiran tentang Linguistik

7.2.7.1 Pemikiran Saussure

Mongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah tokoh linguistik modern kelahiran Geneva, Swiss. Tahun 1916 dipandang sebagai tahun kelahiran linguistik modern dan de Saussure dijuliki sebagai Bapak Linguistik Modern. Saussure memiliki pemukiran yang sangat brilian, yaitu dibedakannya dua aspek tanda bahasa, yaitu significant dan signifie. Saussure berprinsip bahwa ujaran (parole) tidak boleh dikacaukan dengan langue. Langue merupakan sistem yang dimiliki bersama yang secara taksadar kita pergunakan sebagai alat komunikasi, sedangkan parole adalah realisasi individual atas sistem bahasa, yang berupa kalimat-kalimat atau ucapan-ucapan seseorang dalam komunikasi sehari-hari.

7.2.7.2 Pemikiran Odgan dan Richard

Pada kurun berikutnya, C.K. Odgan dan I.A. Richard dalam The Meaning of Meaning (1923) membuat langkah yang lebih menentukan dalam membangkitkan minat bidang linguistik, khususnya di wilayah makna kata dan makna kalimat. Odgan dan Richard berbicara tentang kodrat kalimat. Mereka juga berbicara tentang acuan, yang menyatakan bahwa setiap tutur yang bermakna dalam kalimat tentulah mempunyai acuan.

7.2.7.3 Pemikiran John Lyons

Lyons (1996:72) tergolong ahli semantik yang sangat berpengaruh. Dia, menguraikan hubungan antara kegramatikalan (grammaticality) dan kebermaknaan (meaningfulness) serta keberterimaan (acceptability).

7.2.7.4 Pemikiran Sapir-Whorf

Edward Sapir(1884-1937) dan Benjamin Lee Whorf(1897-1941) berpendapat bahwa pandangan manusia tentang dunia luar dibentuk oleh bahasa yang dipakai. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi cara berpikir masyarakat pengguna bahasa yang bersangkutan.

7.2.7.5 Pemikiran Grice dan Leech

Grice dan Leech memunculkan konsep implikatur. Pemahaman implikatur yang dilontarkan Grice dan Leech (1975) berguna untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur,yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur.

7.2.7.5 Pemikiran Austin

Austin (1968) memperkenalkan konsep tindak bahasa (speech act). Ia membedakan tiga jenis tindakan dalam konsep tindak bahasa, yaitu tindakan lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindakan lokusi adalah tindakan mengatakan sesuatu atau tindakan membuat suatu tuturan. Ilokusi adalah tindakan yang dilakukan dalam mengatakan sesuatu atau membuat pernyataan. Secara konvensional, yang dikategorikan sebagai tindakan ilokusi, antaralain, adalah tindakan (a) menyapa, (b) menuduh, (c) mengakui, (d) meminta maaf, (e) menantang, (f) mengeluh, (g) berdukacita, (h) mengucapkan selamat, (i) menyesalkan, (j) mengizinkan, (k) memberi salam, (l) meminta diri, (m) menghina, (n) memberi nama, (o) menawarkan, (p) memuji, (q) berjanji, (r) memprotes, (s) berterima kasih, (t) bersulang (Huurfordv dan Heasley, 1994:244; cf. Kaswanti Purwo 1984:19-20)

Perlokusi adalah tindak bahasa yang mengakibatkan kawan bicara melakukan suatu tindakan dalam mengatakan sesuatu itu.

7.3 Hubungan Teori dan Metode dalam Linguistik

Metode dalam linguistik, sebagaimana dalam ilmu-ilmu lain, adalah metode ilmiah, yaitu berupa siklus empiris, yakni proses yang berlangsung dari metode induktif ke metode deduktif, dan dari metode deduktif kembali ke metode induktif. Metode induktif mencangkup empat langkah, yaitu pengamatan data, wawasan atas struktur data, perumusan hipotesis, dan pengujian hipotesis (Kridalaksana: 1991:11)

TINJAUAN PENULIS

Secara umum, ilmu linguistik (ilmu bahasa) memiliki dua tataran, yaitu tataran fonologi dan tataran gramatika atau tataran bahasa. Dalam tataran bahasa terdapat bahasan tentang morfologi dan sintaksis. Sintaksis membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan (speech). Unsur bahasa yang termasuk di dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.

Sintaksis berasal dari bahasa Yunani (sun + tattein = mengatur bersama-sama) adalah bagian dari tatabahasa yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa.

Menurut aliran struktural, sintaksis diartikan sebagai subdisiplin linguistik yang mempelajari tata susun frasa sampai kalimat. Dengan demikian ada tiga tataran gramatikal yang menjadi garapan sintaksis, yakni: frasa, klausa, dan kalimat (Suparno, 1993: 81)

Frase, klausa, dan kalimat adalah satuan bahasa. Konstruksinya disebut konstruksi sintaksis. Dilihat dari tatanan unsur-unsur pembentuknya, frase, klausa, dan kalimat itu merupakan kontruksi, yang secara khas disebut sintaksis karena konstruksi-konstruksi itu dibahas dan dikaji dalam subdisiplin sintaksis. Atas dasar pemikiran itu dikenal konstruksi frase, konstruksi klausa, dan konstruksi kalimat. (Suparno, 1987: 7)

Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nenprediktif (Rusyana dan Samsuri, 1976) atau satu konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atu lebih. Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas subjek dan predikat. Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi final (kalimat final), dan secara actual ataupun potensial terdiri atas klausa.

Berdasarkan uraian-uraian dan pendapat-pendapat di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sintaksis adalah bidang subdisiplin linguistik yang mempelajari hubungan antarkata dalam tuturan yang meliputi tata susun frase, tata susun klausa, dan tata susun kalimat dalam suatu bahasa.

Pada buku ini telah digambarkan secara jelas mengenai pengertian sintaksis dan hal-hal apa saja yang dipelajari di dalamnya mulai dari pengertian sintaksis, klasifikasi frasa, klasifikasi klausa, klasifikasi kalimat, syarat-syarat paragraph, satuan-satuan dalam wacana hingga teori dan pemikiran linguistic yang berkembang di Indonesia.

Buku ini dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sehingga pembaca memperoleh kemudahan dalam menelaah maksud penulis. Selain itu, buku ini juga dikemas dalam bentuk pembahasan per bab sehingga memudahkan pembaca dalam mempelajari isi buku. Untuk keperluan belajar Sintaksis tataran Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, buku ini bisa dijadikan sebagai salah satu referensi belajar sintaksis

Buku karya: Prof. DR. E. Zaenal Arifin

08.19

SASTRA BANDING

SASTRA BANDINGAN

Sastra Bandingan ( Comparative Literature ) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekannya perbandingan dua karya atau lebih dari sedikitnya dua Negara yang berbeda.
Sastra bandingan bertujuan untuk menghapus pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu sastra nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya.
Sastra bandingan tidak mempersoalkan masalah perbedaan dalam agama dan kurun waktu. Karya-karya sastra dapat saja dibahas dan dibandingkan meskipun lokasi cerita, para pelaku, dan penulisnya menunjukan perbedaan yang jelas.

Hakikat Kajian Ilmu Sastra Bandingan

Sastra Bandingan dalam kajian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun yang lainnya adalah bagian dari sastra. Bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, dan bagaimana pengaruh keduanya, serta apa yang dapat diambil dari sastra ini dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah kajian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain. Terkadang perpindahan ini dari segi lafadz-lafadz bahasa atau dalam tema serta dalam gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam temanya, atau berupa karya-karya seni.
Dan batasan-batasan yang memisahnya antara sastra dengan yang lain pada kajian perbandingan terletak pada bahasa-bahasa. Maka perbedaan antara bahasa adalah syarat untuk membangun kajian sastra banding. Pengaruh-pengaruh sastra yang ditulis dengan satu sama lain dan perbandingan yang terjadi antara sastrawan satu dengan yang lain mengenai bahasa yang satu tidak pula masuk bahasan sastra banding.
Dalam sastra bandingan kajian sastra dapat dilakukan dengan mengambil hanya dua karya sastra, misalnya dua sajak, dari sastra nasional yang berbeda. Selain itu sastra bandingan mencakup pula kajian tentang hubungan karya-karya sastra dengan berbagai bidang d luar kesusasteraan, misalnya dengan ilmu pengetahuan, agama, dan karya-karya seni.
Sifat Kajian Sastra Bandingan

Berdasarkan sifat kajian, kajian sastra bandingan dapat kita bagi atas beberapa kelompok, antara lain :
1.Kajian bersifat komparatif
Kajian ini terutama dititikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang dibandingkan, misalnya karya sastra A dengan karya sastra B,. dapat dikatakan bahwa kajian ini merupakan titik awal munculnya sastra bandingan, oleh karena itu, kajian ini selalu dipandang sebagai bagian terpenting dalam kajian sastra bandingan.
2.Kajian bersifat historis
Kajian yang bersifat historis ini lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai historis yang melatarbelakangi kaitan antara satu karya sastra dengan karya sastra lainnya. Kajian ini dapat berupa, misalnya, masuknya satu buah pikiran, aliran, teori kritik sastra ataupun jenre dari satu Negara ke Negara lainnya.
3.Kajian bersifat Teoritis
Kajian yang bersifat teoritis ini menggambarkan tentang konsep, criteria, batasan, ataupun aturan-aturan dalam berbagai bidang kesusastraan. Sebagai contoh adalh konsep-konsep mengenai berbagai aliran, criteria jenre, teori-teori pendekatan, serta batasan-batasan yang berkaitan dengan masalah tema.
4.Kajian bersifat antar-disiplin
Sifat kajian ini sesuai dengan judulnya, tidak menelaah karya-karya sastra semata-mata, melainkan membicarakan hubungan antara isi karya sastra dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, agama, dan bahkan juga karya-karya seni.

Urgensi Kajian Sastra Banding

Kajian sastra banding memiliki manfaat besar dalam kawasan Nasional dan Global pada kawasan nasional mengarahkan penelaahan atas sastra asing dan membandingkannya dengan sastra Umum, menuju peringanan dari segi kefanatikan bahasa dan sastra umum/ pribumi tanpa mencari kebenaran.
Dan dari segi fungsi-fungsi study sastra banding sebenarnya menjadikan pembelajaran tentang kebiasaan khusus atas perbedaan antara apa itu nasional yang melekat dan pendatang yang menyulusup dan dari segi pemikiran dan kebudayaan.
Metode Pembahasan Dalam Sastra Banding

Seorang pembahas dalam sastra banding membutuhkan kumpulan-kumpulan pembelajaran yang membantunya dalam mengkaji sastra banding.
1.Study sejarah, Dalam hal ini sangat penting seorang pembahas memiliki pengetahuan yang luas serta memahami segala macam kejadian dan perkembangan sejarah, serta mengetahui hubungan sosial antar bangsa yang begitu beragam. Ilmu sastra banding merupakan cabang ilmu sastra, dan sejarah adalah bagian terpenting dalam pembelajaran ini.
2.Setelah mengerti sejarah, pembahas juga Mengetahui perjalanan para tokoh dan study sample kemanusiaan sastra yang dikenal disetiap bangsa dan sastra itu sendiri. Contoh: Laila Majnun dalam sastra “Cinta”.
3.Mengetahui ragam bahasa sangatlah penting dalam study sastra banding. Namun pembahasan tidak dituntut untuk menggunakan seluruh bahasa dalam study sastra banding ini. Karena, ini adalah satu hal yang mustahil, cukup baginya memilih salah satu bahasa yang baik.
4.Terjemah, merupakan lingkup yang baik untuk mengetahui pengaruh-pengaruh sumber-sumber yang lain dan karya-karya sastra besar.
5.Kunjungan, merupakan satu kegiatan yang memiliki faedah besar dalam study sastra banding, karena hubungan antar bangsa membuka peluang untuk satu pemahaman dan tidak mengendalikan pembelajaran dari buku saja.

Intertekstualitas dan Sastra Bandingan

Masalah transformasi tidak hanya menyangkut perubahan dari karya sastra yang satu menjadi karya sastra yang lain, tetapi juga perubahan dari jenis karya nonsastra menjadi karya sastra. Beberapa cerpen Ahmad Thari, misalnya, seperti “Pencuri” (Panji Masyarakat, No. 458, 1982), “Nyanyian Malam” dan “Syukuran Sutabawor” ternyata menyerupai esainya “Priyayi Zaman Akhir” dan “Tetangga di Belakang Rumah” dalam rubrik Seloka dan Amanah NO. 59, 20 Oktober 1988 dan No. 85, 7 Oktober 1989.
Masalah lainnya yang cukup menarik terjadi pada kasus Ajip Rosidi. Puisi Naratif Ajip Rosidi yang berjudul “Jante Arkidam” semula ditulis dalam bahasa sunda tahun 1956 lalu ditulis kembali dalam bahasa Indonesia. Masalahnya ada beberapa larik versi sunda yang dihilangkan, dan apakah perbandingan Jante Arkidam versi itu (Sunda-Indonesia) termasuk sastra bandingan, mengingat bahasa itu berbeda bahasanya atau intertekstualis??. Di Indonesia atau di Negara-negara yang multietnik, keadaan seperti itu, bukanlah hal yang aneh.
Dan sejumlah kasus yang telah dipaparkan tadi, yang perlu mendapat perhatian, barangkali- bukanlah pada perbedaan bahasa, geografi, politik atau negara, tradisi dan kebudayaan, melainkan pada metodologinya. Jika yang diperbandingkan sebatas teksnya semata-mata tanpa menghubungkannya dengan faktor-faktor ekstrinsik maka sebut saja itu sebagai sastra bandingan dengan pendekatan intertekstualitas. Tetapi jika perbandingannya itu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai hal yang menyangkut perbedaan sosiokultural yang melingkari diri pengarang masing-masing maka sebut saja itu sebagai studi sastra bandingan dengan pendekatan sosio-kultural. Justru dalam hal inilah, studi sastra bandingan, tidak hanya akan menjadi studi interdisipliner tetapi juga, pada gilirannya, menurut kritikus melebarluaskan wawasan dan pengkajiannya sekaligus.
Dalam kasus Oedipus dan Sangkuriang, misalnya, mengapa Oedipus sempat menjadi suami perempuan yang sebenarnya ibunya sendiri, sedangkan Sangkuriang, menikah pun dengan Dayang Sumbi belum sempat? Tentu saja persoalnnya menjadi jelas jika kita menghubungkan kultur Sunda pada diri Sangkuriang dengan kultur Barat pada Oedipu. Sangat boleh jadi, Oedipus tidak mengenal Konsep “Anak Durhaka” dan “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.” Mengapa konflik Magdalena Al-Manafaluthi lebih banyak di latarbelakangi oleh persoalan harta kekayaan dan harkat dan derajat keluarga, sedangkan konflik Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hamka, dilatarbelakngi oleh masalah adapt (Minang). Masalah yang sama dapat kita kemukakan pada kasus Pariyem dan Nyanyian Lawino. Mengapa Lawino tampil sebagai sosok perempuan Kasar, pemberang dan kasar dibandingkan Pariyem yang sumarah, minder, manut. Mengapa pula dalam cerita-cerita fabel di Eropa, tokoh Srigala selalu tampil sebagai tokoh yang cerdik dan sering muncul sebagai “mesias”, dewa penolong, sedangkan dalam cerita fabel Nusantara seperti itu diwakili oleh tokoh Kancil, sebaliknya tokohnya srigala tampil sebagai tokoh jahat, rakus, dan serakah? Apakah ini juga erat kaitannya dengan latar belakang sosiokultural yang berlaku di masyarakat masing-masing?
Banyak contoh serupa masih dapat kita kemukakan. Yang jelas bahwa penjelasan sosiokultural dalam studi sastra bandingan agaknya, perlu mendapat tekanan, betapapun itu memerlukan disiplin ilmu lain. Dengan cara ini, niscaya studi sastra bandingan akan memberi sumbangan berarti bagi usaha memahami kebudayaan suatu bangsa. Dengan cara itu pula, terbuktilah bahwa bahasa (sastra) merupakan juga cerminan identitas bangsa.

Sastra Banding dan Kedudukannya Di Antara Metode-metode Kajian Sastra

Sastra banding adalah salah satu metode study sastra. Dan karena metode-metode bagian sastra banyak dan berhubungan satu sama lain dan ini membantu menjelaskan kedudukan sastra banding di antara metode-metode yang menetapkan masing-masing kepentingannya :

1.Sudut Pandang Sastra adalah merupakan metode yang membahas mengenai sejarah munculnya dan perkembangan sastra dari masa ke masa.
2.Kritik Sastra adalah merupakan metode yang membahas karya-karya sastra, misalnya sebuah novel atau puisi, dengan mempergunakan teori-teori kritik sastra.
3.Sejarah Sastra adalah merupakan metode yang berusaha mengungkapkan latar belakang, dan perkembangan berbagai aspek sastra, misalnya karya sastra, bentuk sastra, aliran sastra, ataupun teori sastra.

Ketiga metode ini tidak selalu berdiri sendiri karena kadang-kadang ada kaitan satu sama lainnya dan perbedaan diantara metode-metode ini berdasarkan sudut pandang yang kita lihat dari sastra itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Mahayana, Maman S, 9 jawaban sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing,2005.
Malibara, Ahmad Akram, Muqaddimah fil Adab al Muqaran, Jakarta: UINJKT,2000
Razali kasim, Sastra Bandingan Ruang Lingkup dan Metode (Medan Universitas Sumatera Utara, 1996)